Sunday, February 9, 2014

MANAJEMEN TRIAGE PASIEN STROKE


Manajemen Kedaruratan Neurologi (Neurologic Emergencies)
oleh : dr. Gunawan Budiarto, DSS
Lab/UPF Ilmu Penyakit Saraf RSUD Dr. Sutomo Surabaya


I.Pendahuluan.

Pada zaman saya pertama kali memasuki dunia Ilmu Penyakit Saraf sekitar tahun 1961 maka cabang ilmu ini dianggap ilmu yang paling tenang, adem dan ayem. Anggapan saat itu adalah keadaan kelumpuhan yang telah terjadi tidak akan cepat berobah. Jadi tidak perlu tergesa-gesa menyusun diagnosa dan terapi. Kebanggaan para neuroloog saat itu (mungkin juga sampai sekarang) ialah bila kami bisa menyusun berdasar gejala yang ada suatu diagnosa topikal yang logis, sesuai dengan fungsi anatomis susunan saraf.
Kemajuan kita tentang sifat sel saraf yang bersumber pada pengetahuan yang mendasar dari neuron, neurotransmitter, suplai darah ke otak, peran elektrolit seperti natrium, kalium dan kalsium, peran glukosa dan lain sebagainya mengobah secara radikal anggapan alon asal kelakon diatas.
Kami sekarang tahu, misalnya bahwa pada stroke enam jam pertama adalah maha penting. Bila pasien datang dalam kurun waktu yang dikenal sebagai "therapeutic window" itu dan pengobatan yang sesuai segera dimulai, maka hasil terapi akan jauh lebih baik daripada bila sesudah lewat waktu ini.
Bilamana waktu yang lewat dapat lebih dipersingkat lagi, misalnya kurang dari 2 jam maka bisa dipertimbangkan terapi yang lebih radikal dengan r-tPA yang akan memberi hasil yang lebih baik lagi!
Keharusan untuk bertindak cepat dibidang neurologi bukan hanya monopoli pada pengobatan stroke akut. Beberapa penyakit lain seperti trauma kepala, trauma pada myelum, kelumpuhan pada sindroma Guillain-Barré, meningitis akut, tumor otak yang akan menimbulkan herniasi, kejang status pada pasien epilepsi dan sebagainya juga merupakan kedaruratan di bidang neurologi yang memerlukan pemantauan dan tindakan segera. Pada dasarnya patofisiologi kerusakan sel neuron seperti yang secara mendalam diketahui pada kasus stroke tidak jauh berbeda dengan patofisiologi kerusakan sel neuron yang terjadi pada penyakit otak akut yang lain.
Pada kuliah ini tidak akan dibicarakan semua jenis kedaruratan diatas karena pasti tidak cukup waktu dua jam.
Yang akan dibicarakan secara lebih rinci adalah dasar patofisiologi daripada kedaruratan tersebut : apa sebenarnya yang terjadi sehingga perobahan bisa sedemikian dramatisnya.
Semoga pemahaman dasar patofisiologi ini akan membantu anda sekalian untuk mengerti apa yang terjadi pada kedaruratan neurologik pada umumnya.
Apa saja yang digolongkan Kedaruratan Neurologi ?
Menurut Critchley termasuk bidang ini adalah segala penyakit yang memerlukan putusan dan tindakan segera.Menurut dia stroke, koma, kenaikan tekanan intrakranial, kejang status, trauma kepala, gangguan pernafasan pada penyakit otot, meningitis akut serta intoksikasimerupakan kedaruratan dibidang neurologi.

II.Patofisiologi dasar pada kedaruratan neurologi.

A.Metabolisme otak dalam keadaan normal dan sakit:
Uraian dibawah ini umumnya memang diambil dari patofisiologi stroke akut. Akan tetapi perobahan dasar yang terjadi pada kerusakan jaringan saraf tidak akan berbeda jauh apapun latar belakang penyebabnya.
1.Otak harus menerima suplai darah yang beroksigen serta mengandung cukup glukosa secara kontinu dan dalam jumlah yang cukup.Organ yang sangat aktif ini tidak mempunyai cukup persediaan enersi.
Otak memerlukan 6 ml/100g/menit oksigen untuk daerah kelabu dan 2 ml/100g/menit untuk daerah substansia alba.
Kebutuhan untuk glukosa bervariasi antara 4.5 sampai 7 mg/100 g/menit. Dari metabolisme ini dalam keadaan normal akan terbentuk fosfat berenersi tinggi (ATP dan ADP) lewat "citric acid cycle" dan rantai transport elektron mitokhondria. Dalam keadaan normal hampir tidak terjadi penguraian glukosa secara anaerobik untuk menyuplai kebutuhan enersi otak.
Otak menuntut sekitar 20 % dari seluruh output jantung : sekitar 800 ml/menit. Dalam keadaan sehat otak mampu untuk menyesuaikan suplai dengan kebutuhan:otoregulasià suplai disesuaikan dengan kebutuhan.
2. Susunan saraf dengan "unit kerja" utama neuron yang ditunjang oleh jaringan glia merupakan organ yang relatif rapuh karena :
susunan saraf sepenuhnya tergantung pada suplai nutrisi dari luar.
susunan saraf tidak mempunyai kemampuan untuk regenerasi yang berarti.
dalam beberapa menit sesudah terjadi sesuatu gangguan kerusakan jaringan sudah dimulai.
umumnya dianggap bahwa batas waktu dimana intervensi terhadap proses kerusakan jaringan masih bermanfaat berkisar antara 4 jam (de Graba) hingga 6 jam (terbanyak). Baron bahkan mengatakan proses bisa berlangsung lebih lama dari 6-12 jam.
Dalam keadaan normal homeostasis-ionik dipertahankan dengan ketat: intrasel kadar ion K relatif tinggi sedangkan kadar ion Na dan Ca ekstrasel yang tinggi.
Untuk mempertahankan gradien yang konstan diperlukan berbagai sistim pompa ion yang semuanya memerlukan sumber enersi cukup banyak dari ATP.
Pada saat terjadi iskemi/hambatan pada sistem suplai enersi, mekanisme pompa ini hampir seketika mengalami kegagalan hingga dengan cepat terjadi akumulasi ion Na dan Cl intrasel disertai dengan ikut masuknya air. Ini terjadi sejak awal sekali < 1 jam.
Masuknya air menyebabkan edema sel yang dinamakan edema sitotoksik. Ion Calcium juga ikut masuk lewat saluran ion Calcium:"voltage-mediated" + "receptor mediated"channels. Ion Ca yang dilepaskan dari mitokhondria dan retikulum endoplasmik pada iskemia ini menyebabkan kenaikan jumlah ion calcium bebas. Keadaan ini mendorong terjadinya kerusakan sel yangireversibel.
Pada iskemia peristiwa penting yang lain adalah terbentuknya banyak asam laktat lewat metabolisme glukosa secara anaerobik. Asam laktat ini bersifat merusak. Karena itu makin tinggi kadar glukosa pada tempat gangguan makin banyak pula pembentukan asam laktat dengan akibat makin besar juga kerusakan yang terjadi ditempat itu.
Akibat iskemi yang lain adalah pelepasan "neurotransmitter" seperti glutamat dan aspartat ke ruang ekstrasel. Karena kemampuan tempat itu untuk membersihkan "excitatory neurotransmitters" ini juga rusak maka zat-zat ini bebas untuk mengikat diri dengan reseptor yang ada, terutama dengan reseptor NMDAAktivasi daripada reseptor NMDA mengakibatkan terjadinya akumulasi lebih banyak lagi daripada ion Na, Ca dan air intrasel, jauh melampaui yang semula sudah terjadi pada awal kerusakan (akibat kegagalan pompa ion).Kejadian yang dicetuskan oleh aktivasi NMDA oleh glutamat dan aspartat ini yang pada akhirnya akan menyebabkan kematian sel.
Kematian sel mungkin juga terjadi karena aktivasi ensim perusak didalam sel oleh ion Ca. Yang dirusak pada proses ini adalahnucleic acid, protein serta lipid.Fosfolipid pada membransel amat peka terhadap proses pengrusakan. Pengrusakan fosfolipid pada membransel akan membebaskan asam arakhidonat. Asam ini akan mengakibatkan pembentukan radikal bebas yang toksik daneicosanoids serta leukotrienes yang memelopori agregasi platelet, mendatangkan lekosit serta mengakibatkan vasokonstriksi.
Dengan demikian pelepasan glutamat dan aspartat ditempat asal dimana kerusakan otak dimulai bisa mengakibatkan terjadinya suatu rangkaian proses biokimiawi yang memperluas kerusakan neuron dibanding yang disebabkan karena iskemi asalnya. Rangkaian proses demikian ini yang disebut "glutamic cascade"

B.Pengertian Penumbra :
Istilah ini khusus dipakai pada stroke akut.
Dari berbagai eksperimen diketahui bahwa pada awalnya terjadi kerusakan otak dengan berbagai gradasi. Pada inti lokasi dimana segala suplai yang diperlukan untuk kelangsungan hidup neuron terputus terjadi kerusakan yang ireversibel dalam kurun waktu sangat singkat : beberapa menit saja. Jaringan disekelilingnya mempunyai tingkat kerusakan yang berbeda, sebagian diantaranya masih memungkinkan terjadinya perbaikan bila cepat dimulai tindakan pertolongan yang tepat. Tindakan pertolongan ini misalnya bisa berupa dipulihkannya aliran darah ketempat itu sebelum terjadi kerusakan sel, dipakainya zat/obat untuk memberi proteksi kepada jaringan otak (neuroprotective agents). Area peri-infark ini yang disebut penumbra. Daerah ini aliran darah belum sama sekali terhenti. Dengan demikian pompa ion yang penting itu belum sama sekali rusak hingga masih memungkinkan tertolong. Biasanya dianggap aliran bertahan sekitar 10-20 ml/100 g/menit. Data terakhir, antaranya dari Baron et al menganggap walaupun daerah ini sudah mulai tergenang air intrasel dan gangguan ion sudah mulai timbul namun selama beberapa jam masih mungkin tertolong.

C.Edema Otak.
Dengan istilah edema otak ini diartikan bahwa telah terjadi akumulasi cairan didalam parenkim otak hingga volumenya bertambah. Edema yang berkaitan dengan peristiwa iskemia bisa dibedakan menjadi dua jenis : sitotoksik dan vasogenik.
1. Edema sitotoksik.
Diatas telah disinggung bahwa edema sitotoksik terjadi secara cepat setelah iskemia dan disebabkan karena gagalnya metabolisme yang memerlukan enersi. Edema jenis ini telah bisa terdeteksi 5 menit setelah iskemi mulai dan didahului oleh peralihan air dari ruang ekstrasel ke ruang intrasel bersama dengan perpindahan ion Na dan Ca. Edema ini tidak terjadi pada jaringan otak yang telah mengalami iskemi total dan biasanya lebih menonjol pada substansia kelabu dibanding pada substansia putih. Dengan terapi yang cepat dan tepat, misalnya dengan memulihkan perfusi secara dini dan dengan pemberian obat sitoprotektif jaringan ini masih dapat diselamatkan.
2. Edema vasogenik.
Edema ini timbul beberapa jam setelah iskemi dan disebabkan bertambahnya permeabilitas vaskuler hingga serum protein dan cairan bisa masuk. Peningkatan tekanan darah secara langsung menambah pembentukan edema vasogenik karena memperbesar permeabilitas vaskuler dan dengan demikian juga menambah akumulasi cairan. Terusiknya blood brain barrier yang biasanya sangat rapat merupakan suatu faktor yang ikut mendorong terjadinya edema vasogenik. Timbunan cairan didaerah peri-infark makin mengurangi aliran darah regional dan makin menambah perluasan area yang rusak. Edema jenis ini biasanya dijumpai pada tumor otak terlebih yang metastatik dan responsif terhadap pemberian kortikosteroid parenteral.

III. Kedaruratan Neurologi.
Apa saja yang termasuk kedaruratan neurologi ?
Biasanya yang termasuk kedaruratan neurologi adalah :
Koma (dibahas secara umum).
Kejang status pada epilepsi(dibahas secara umum)
Sindroma Guillain-Barré (bila terjadi gagal nafas).
Meningitis akut(dibahas secara singkat).
Trauma myelum(dibahas secara singkat)
Trauma kepala(tidak dibahas).
Tumor otak pada saat terjadi herniasi otak.
Kelumpuhan otot pada hipokalemi.
Krisis myastenik.
Edema otak/ensefalopati karena berbagai sebab termasuk
AIDS (tidak dibahas).
Bukan maksud kuliah ini untuk membicarakan semua keadaan darurat neurologi diatas. Akan secara sekilas dibicarakan latar belakang patofisiologi pada masing masing kejadian. Cara penanganan rasional dari beberapa kedaruratan neurologik akan secara logis tersimpul dari patofisiologi ini.

IV.Monitoring umum pada kedaruratan neurologi.
Tujuan monitoring pada perawatan intensif dibidang neurologi adalah untuk mendeteksi perobahan yang terjadi dan memulai langkah penyelamatan sebelum terjadi kerusakan ireversibel. Pada masa lalu observasi pasien dikerjakan murni secara klinis. Cara neurochecksseperti ini pelaksanaannya kerapkali diserahkan kepada perawat dengan tujuan mendeteksi perobahan yang telah nampak/manifest secara klinis. Namun pada saat itu perobahan yang mendasari seringkali telah sulit dipulihkan. Para pakar dalam bidang "neuroscience intensive care unit" (NICU) kini memperluas jangkauan untuk mengobservasi pasien dengan maksud untuk menemukan perobahan fisiologis pada fase dimana perobahan ini masih reversibel.
Cara cara yang lazim dipakai di ruang perawatan neuro intensif yang modern terdiri dari :
Monitor tekanan intrakranial (ICPM).
Bedside EEG secara kontinu.
Evoked Potential (dimana perlu).
Transcranial doppler sonography (TCD).
Pengukuran aliran darah otak.
Penentuan saturasi Oksigen pada darah vena jugular.
Dengan berbagai alat ini keadaan pasien bisa dimonitor setiap saat dan tindakan yang sesuai dimulai sebelum terlambat. Diperlukan keahlian khusus bagi mereka bekerja diruangan perawatan saraf intensif ini. Ahli saraf yang mengkhususkan diri untuk bekerja ditempat ini disebut juga "neurointensivist".Para dokter kini telah mampu untuk "memonitor" pasien dengan kedaruratan neurologik secara lebih baik. Kata monitor berasal dari kata Latin "monere" yang berarti mengingatkan (to warn).Ibaratnya tujuan monitoring adalah seperti pelaut pengawas yang bertugas diatas tiang observasi dikapal yang harus mengingatkan kapten kapal secara dini bila ada sesuatu yang mengancam. Dengan demikian dapat secara dini memulai langkah penyelamatan ataupun perlawanan yang sesuai! Dokter ahli saraf masa kini berdasar pada pengetahuan yang dimiliki harusnya dapat mencegah atau setidaknya membatasi kerusakan jaringan saraf pada pasien hingga efek buruk yang menimpa pasien tersebut bisa dikurangi.

1. Monitor tekanan intrakranial.
Tujuan memonitor tekanan intrakranial adalah untuk melindungi jaringan otak terhadap pengaruh merusak dari kenaikan tekanan. Dengan demikian kenaikan yang terjadi bisa diketahui sejak dini dan dilakukan langkah untuk menurunkan tekanan hingga aman setidaknya untuk sementara. Koreksi kenaikan tekanan belum berarti menghilangkan penyebab penyakit dasarnya. Hasil terapi belum pasti akan baik bilamana penyebab dasar penyakit tidak dilenyapkan.
Sebagai contoh: Penanggulangan kenaikan tekanan intrakranial yang terjadi pada hipotensi + vasospasme tidak akan berhasil sempurna bila kedua faktor dasar ini tidak dihilangkan.
Sebaliknya bisa terjadi bahwa(karena letaknya), suatu proses belum meningkatkan tekanan intrakranial secara bermakna walaupun disekitarnya telah terjadi edema yang mendorong timbulnya herniasi otak. Ini misalnya terjadi pada tumor/lesi di fossa cerebri media dimana kenaikan tekanan lokal lambat menimbulkan kenaikan tekanan global.
Indikasi pemakaian monitor tekanan intrakranial: semua proses dimana tekanan intrakranial mungkin meningkat hingga perlu pengawasan. Penurunan GCS hingga 7 atau kurang biasanya perlu ICP. Pemantauan ICP juga berguna bila penilaian klinis sulit misalnya karena diperlukan sedasi yang kuat, blokade neuromuskuler dan pasien dengan PEEP (positive end expiratory pressure ventilation).

2.Monitor EEG secara kontinu.
Ada beberapa alasan yang membuktikan monitoring EEG secara kontinu adalah penting.
a). EEG berkorelasi secara erat dengan metabolisme otak. Dapat dikatakan bahwa EEG merupakan rangkuman dari semua aktivitas sesaat di otak, baik yang bersifat eksitatorik maupun yang bersifat inhibitorik setelah mengalami modifikasi dari subkorteks.
b). EEG peka terhadap hipoksi maupun iskemi yang terjadi dan mampu mendeteksi perobahan yang timbul pada taraf yang masih reversibel.Lapisan korteks 3 dan 5 (darimana aktivitas EEG itu berasal), merupakan bagian yang peka terhadap iskemi maupun hipoksi. Kelainan EEG akan mulai nampak bila aliran darah keotak menurun hingga < 20-25 ml/100g/menit. Dari percobaan dengan binatang diketahui bahwa aktivitas sinaps masih berlangsung hingga aliran darah mencapai 17 ml/100g/menit sedangkan kegagalan sistim enersi jaringan otak baru timbul bila aliran darah menurun lagi hingga 10-13 ml/100g/menit. Dengan demikian secara teoretis terdapat "therapeutic window" antara aliran darah 13-16 ml/100g/menit dimana intervensi yang tepat masih akan berhasil walaupun saat itu sudah nampak kelainan pada rekaman EEG.
c). EEG merupakan alat terbaik untuk mendeteksi adanya aktivitas epileptik atau "seizure activity". Karena pada banyak penyakit neurologis (trauma capitis, stroke hemoragik maupun iskemik) kemungkinan timbulnya kejang cukup besar. Pemantauan dengan EEG merupakan suatu upaya yang bermanfaat.Dengan demikian juga apa yang dikenal sebagai nonconvulsive seizures (NCS) dan nonconvulsive status epilepticus (NCSE)akan dapat terpantau.
Bila dilakukan secara cermat EEG bisa membantu menentukan lokasi lesi. Walaupun telah ada CT dan alat canggih lainnya namun seringkali untuk pasien dengan keadaan umum buruk mengangkut pasien ketempat CT kadang-2 sulit. Sebaliknya EEG dengan mudah setiap saat bila perlu bisa dipasang disamping pasien.
3. Penggunaan Evoked Potential.
Pada kita penggunaan Evoked Potential secara rutin belum umum. Di unit perawatan neurologik intensif harusnya penggunaan Sensoric Evoked Potential dan Brain Stem Evoked Potential merupakan sesuatu yang lazim karena relatif mudah dan tidak mahal. SEP pada n. medianus secara bilateral berguna meramalkan prognosa pasien koma. Bila pada SEP komponen kortikal N19/P22 tidak ada maka pasien menjurus ke keadaan vegetatif atau bahkan mati. Menurut Ganes dan Lundar hilangnya SEP secara bilateral mendahului hilangnya aktivitas EEG dengan 48 jam. Cara ini jauh lebih peka daripada EEG dalam meramalkan akan datangnya kematian ataupun keadaan vegetatif: pada koma karena trauma hilangnya SEP secara umum dapat diartikan bahwa pasien akan mati.
Sebaliknya tetap adanya SEP tidak selalu menjamin pasien akan hidup. Rothstein mendapatkan dari kelompok ini 27% akhirnya mati walaupun respons kortikalnya tetap positif.
Sebaliknya masih bisa juga terjadi orang yang SEP-nya negatif namun tetap hidup atau bahkan sembuh. Ini harus diinterpretasikan bahwa SEP hanya menilai suatu jaras anatomis yang terbatas saja yang tidak selalu mampu untuk menilai fungsi seluruh batang otak dan otak. Sebaiknya hasil SEP dikorelasikan dengan gambaran klinis atau dengan cara pemantauan atau imaging yang lain juga.

4.Doppler Transkranial.
Vasospasme yang bisa membawa kematian atau cacad merupakan penyebab memburuknya banyak(40%) pasien dengan perdarahan subarakhnoidal. Pada vasospasme kecepatan aliran darah meningkat tapi perfusi regional berkurang karena menurunnya volume aliran darah keotak. Karena terapi efektif untuk vasospasme ini sekarang tersedia maka pendeteksian gangguan ini secara dini menjadi lebih penting.

5. Pengukuran aliran darah otak.
Kemampuan untuk mengukur aliran darah otak secara periodik dan di "bedside" pasien merupakan idaman yang lama dari para neurointensivist.Dengan cara ini bisa ditentukan adanya iskemia atau hiperemia otak. Bukan hanya iskemia saja yang bisa berbahaya untuk otak, adanya aliran darah keotak yang berlebihan juga bisa berbahaya. Misalnya pada keadaan dimana ICP pasien sudah meningkat kenaikan aliran darah bisa mempercepat menjadi lebih buruknya pasien. Sayangnya hingga kini belum ada alat yang canggih yang dapat dipakai disamping tempat tidur pasien.

Manajemen Kedaruratan Neurologi.

I.Manajemen pasien koma.
1.Definisi.
Dengan koma diartikan hilangnya kemampuan pasien untuk memberi respon yang dapat dimengerti terhadap rangsangan dari luar ataupun terhadap kebutuhan dari dalam. Dalam prakteknya ini berarti bahwa pasien tidak dapat dibangunkan, matanya tertutup dan tidak menjawab terhadap rangsangan suara maupun nyeri.
Koma harus dibedakan dengan keadaan vegetatif tetap:(persisitent vegetative state/PVS). Pada PVS ini pasien buka mata tapi tidak peduli pada sekelilingnya. Oleh Critchley dipakai istilah "awake but not aware". Pada PVS ini korteks tidak berfungsi sedangkan batang otak baik.
Koma juga harus dibedakan dari locked-in syndrome (ventral pontine syndrome). Pada keadaan ini jaras motorik dari tengah pons dibawah nukleus N.III terputus oleh infark ataupun sebab lain (trauma,demyelinisasi) sedangkan formatio retikularis tetap berfungsi. Pasien seperti ini sadar, baik tentang dirinya sendiri maupun terhadap sekitarnya. Akan tetapi ia seolah olah terpenjara dalam dirinya sendiri, tetraplegik dan bisu. Mereka ini bisa berkomunikasi dengan orang lain lewat kode yang telah disepakati misalnya dengan kedipan mata, memejamkan kelopak mata dan sebagainya.
Untuk menilai secara lebih mudah dianjurkan untuk memakai apa yang disebut Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale/GCS)
seperti yang terpapar dibawah ini:

Adult scale Pediatric scale
(Teasdale and Jennet,1974) (Simpson and Reilly,1982)
Eye opening
spontaneously 4
to speech 3 as in adult scale
to pain 2
none 1
------------------------------------------------------------
Best Verbal response
oriented 5 oriented
confused 4 words
inappropiate 3 vocal sounds
incomprehensible 2 cries
none 1 none

Best Motor response
obeys commands 6
localizes pain 5
withdrawal to pain 4
flexes to pain 3 as in adult scale
extension to pain 2
none 1
------------------------------------------------------------
Cara penilaian ini mempunyai keuntungan bahwa skor bisa dikerjakan oleh semua tenaga medik/dokter yang merawat dengan hasil yang sama atau "reproducible" hingga memudahkan penilaian.
2. Manajemen koma pada fase akut.
Sebaiknya rumah sakit mempunyai suatu protokol penanganan pasien koma yang akan memudahkan tenaga medis yang pertama menerima pasien dan mengecilkan kemungkinan kekeliruan.
Dokter hendaknya melihat sendiri pasien barunya itu hingga bisa melihat bagaimana keadaannya: pakaiannya, adanya luka, perdarahan, bekas trauma dan sebagainya.Bila ada persangkaan cedera leher maka perlakuan waktu memindahkan pasien harus sangat diperhatikan agar tidak membesar dislokasi yang mungkin terjadi.
Pasien yang mengalami kesulitan bernafas mungkin perlu intubasi untuk mempermudah pernafasannya.
Tingkat kesadaran dinilai dengan Glasgow Coma Scale untuk menjamin diperolehnya hasil yang dapat dibandingkan dan untuk membandingkan hasil terapi.
Bila diduga terdapat hipoglikemi pengobatannya dimulai segera setelah pengambilan darah dengan memberi glukosa 40-50% intravenasebanyak yang perlu untuk mengatasi hipoglikeminya.
Setelah keadaan pasien distabilkan dimulai pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan penyebab koma. Adanya kaku kuduk, lebar pupil yang tidak sama,pola pernafasan, bau pasien, warna kulit, tanda bekas trauma dan sebagainya perlu dicatat. Juga perlu memeriksa fundus oculi untuk mengetahui adanya kemungkinan kenaikan tekanan intrakranial, adanya perdarahan, kecurigaan adanya tumor dan sebagainya.
Setelah pemeriksaan pendahuluan ini mestinya telah ada persangkaan diagnosa ataupun diagnosa diferensial.

3.Triage untuk menyelamatkan nyawa :
a) Pastikan tidak terdapat hipoglikemi, kekurangan
vitamin B1, kejang status, keracunan ataupun hipotermi.
Bila ada salah satu keadaan ini obati secara semestinya.
b) Pastikan apakah keadaan yang dihadapi merupakan kasus
neurologi, cardiopulmonary atau metabolik.
c) Bila yang dihadapi adalah neurologik perlu dibedakan
*disertai kenaikan tekanan intrakranial:
perlu CT secepat mungkin, konsultasi bedah saraf.
*tidak disertai tekanan intrakranial:
mungkin perlu punksi lumbal, EEG, CT bila perlu.

4.Koma Kardiopulmonal dan metabolik:
Tidak dibicarakan karena termasuk bidang lain à segera
diserahkan kepada yang berwenang untuk menangani.

II. Manajemen pasien dengan stroke akut.
Tidak dibicarakan karena uraian tentang ini lebih cocok bila dilakukan waktu membicarakan stroke. Prinsip dasarnya adalah usahakan untuk memulai terapi secepat mungkin setelah terjadi stroke untuk mengejar batas waktu 4-6 jam yang disebut time-window tadi. Untuk penggunaan tPA yang mampu menghancurkan sumbatan (thrombolytic) batas waktu bahkan hanya 1-2 jam saja.
Perlu diingat bahwa stroke yang disertai nyeri kepala dan muntah sejak awal hampir selalu berarti stroke jenis perdarahan. Stroke embolik biasanya disertai sumber emboli dari luar otak, tersering : jantung dan arteria karotis.

III.Manajemen pada kejang status.
1.Definisi: Status epilepticus adalah terjadinya kejang beruntun/serial dimana diantara kejang pasien tetap tidak pulih kesadarannya.Keadaan ini, terlebih kejang status dengan konvulsi tonik-klonik merupakan suatu kedaruratan neurologik yang memerlukan penanganan segera dan tepat. Mengenai mengapa seorang pasien menderita kejang status lebih sesuai bila dibicarakan pada kuliah tentang epilepsi.
Secara umum dapat dikatakan bahwa sebagian dari mereka mengalami kejang beruntun ini karena menghentikan obatnya secara mendadak (withdrawal seizure). Kejang status bisa juga terjadi untuk pertama kali pada tumor otak,epilepsi, trauma kranial,atau operasi otak.
2.Tindakan :
Pada mereka dengan riwayat epilepsi : ambil darah untuk penentuan kadar antikonvulsant yang biasa dipakai.
Beri segera setelah memasang infus diazepam, 2mg/menit hingga total 20 mg.
Karena diazepam hanya bekerja singkat sebaiknya bolus ini disusul dengan phenitoin, intravena 10-15 mg/kg.BB,dengan kecepatan pemberian tidak melebihi 50 mg/menit.
Bila kejang berlanjut dapat ditambahkan diazepam perinfus dengan dosis 50-100mg,dilarutkan dalam cairan dextrose in saline 500 ml dan diberikan selama 12 jam.
Sebaiknya dalam hal ini pasien dirawat di Unit Perawatan
Intensif karena kemungkinan terjadinya gagal nafas.
Bila semua tindakan ini gagal pasien mungkin memerlukan bantuan perawatan ahli anestesi yang mungkin akan memberikan pentotal atau midazolam setelah terjamin terbukanya jalan nafas. Mungkin saat itu pasien sudah memerlukan bantuan ventilasi.

IV.Manajemen pasien dengan sindroma Guillain-Barré.
Penyakit ini merupakan penyakit yang menakutkan karena disertai kelumpuhan ekstremitas yang bisa meluas hingga melumpuhkan otot pernafasan. Karena itu bila menghadapi GBS perlu tersedia respirator dan orang yang bisa mejalankannya.
Penyakit ini merupakan topik yang akan dibicarakan tersendiri. Pada kuliah ini hanya akan disinggung dasar dasarnya saja.
Teori yang berlaku sekarang menganggap GBS sebagai auatu penyakit otoimun yang dicetuskan oleh dibuatnya antibodi antimyelin pada seorang yang sebelumnya mengalami infeksi lain, misalnya radang tenggorokan atau radang lainnya. Mereka yang pernah mengalami infeksi dengan campylobacter jejuni biasanya menderita kelumpuhan yang lebih berat. Konon ini disebabkan karena struktur biokimia dinding bakteri ini mempunyai persamaan dengan struktur biokimia myelin pada radix sehingga antibodi yang terbentuk terhadap kuman ini bisa keliru melanda juga myelin.
Pada dasarnya Guillain-Barré adalah "self limited" dan bisa sembuh. Namun sebelum mencapai kesembuhan bisa terjadi kelumpuhan yang meluas hingga otot pernafasan. Bila pasien dirawat di rumah sakit yang mempunyai respirator maka keadaan darurat ini dapat diatasi dan pasien mungkin sekali akan tetap sembuh.
Pengobatan yang kini dianggap terbaik adalah pemberian gamma-globulin atau hyperimmune globulin secara parenteral dalam dosis 0.2-0.4 g/kg/hari untuk 5-7 hari.
Sayangnya obat ini sangat mahal hingga jarang terjangkau untuk kebanyakan pasien.
Cara pengobatan lain adalah lewat plasmapheresis atau plasma exchange yang sementara ini belum dapat dikerjakan di Surabaya. Cara ini sama mahalnya dengan pemberian gama globulin dan lebih rumit. Kecenderungan para pakar kini lebih kearah penggunaan gamma globulin.
Kortikosteroid pada GBS tidak lagi dianjurkan karena akan makin memperlambat kesembuhannya.

V.Manajemen pada meningitis akut.
Meningitis merupakan penyakit yang sering dijumpai dan akan dibicarakan secara rinci pada kesempatan dan pembicara lain.
Pesan yang ingin saya sampaikan hanyalah agar anda waspada terhadap kemungkinan adanya penyakit ini pada setiap pasien yang menderita panas + nyeri kepala + muntah.
Trias ini harus mengingatkan dokter pada kemungkinan terjadinya radang selaput otak. Sayangnya banyak dokter baru ingat tentang kemungkinan ini bila pasien sudah jelek keadaannya.
Pada anak kecil rangkaian gejala yang nampak tidak selalu sama dengan pada orang dewasa. Perobahan perangai, letargi, anorexia, muntah atau bahkan mencret bisa merupakan gejala yang menyertai meningitis pada bayi.
Sebaliknya pada orang tua, terlebih yang mengidap diabetes, bila terserang meningitis akan lain lagi simtomatologinya.
Mereka ini seringkali mulai sakit secara lebih lambat,yang menonjol hanya letargi/ngantuknya pasien, panas badan seringkali tidak tinggi.
Diagnosa pasti adalah lewat pungsi lumbal. Jumlah sel umumnya meningkat misalnya hingga 500-5000 sel/mm3. Usaha penentuan kuman penyebab dilakukan lewat pemeriksaan bakteriologik, baik secara langsung dengan pengecatan ataupun secara lain yang lebih canggih.
Sebelum punksi lumbal perlu dipastikan bahwa tidak terdapat tanda tanda kenaikan tekanan intrakranial.

VI.Manajemen pada trauma myelum.
Karena keterbatasan waktu trauma myelum tidak dibicarakan secara rinci pada kuliah ini. Namun perlu diingat bahwa dengan makin banyak dan padatnya lalulintas jumlah kecelakaan yang bisa mengakibatkan trauma pada myelum jadi lebih banyak dan beragam. Cedera leher bisa terjadi pada kecelakaan sepeda motor dimana pasien terlempar dan jatuh dengan kepala tertekuk hingga terjadi dislokasi atau fraktur pada vertebrae cervikalis.
Dalam garis besarnya yang terjadi adalah sebagai berikut
Pada saat terjadi cedera leher tulang vertebrae cervikalis mengalami trauma yang mungkin menyebabkan kompresi ataupun fraktur tulang tersebut. Pada saat itu juga mungkin telah terjadi kerusakan pada beberapa bagian dari sel saraf disekitar tempat itu.
Sel sekitar tempat yang mengalami trauma sebagian akan rusak karena tertekan oleb edema yang timbul.Bila terjadi perdarahan maka penekanan kestruktur disekitarnya akan makin bertambah.
Sel yang mati membocorkan kalsium. Karena mekanisme pengaturan keseimbangan kalsium kacau akan terjadi penyrobotan masuk ion kalsium lewat dinding sel. Akibatnya terjadi kerusakan sel yang makin banyak.
Sel yang rusak mengeluarkan radikal bebas. Zat ini ikut memperberat kerusakan karena merebut oksigin dari sel yang sehat dan merusak sel itu.
Kedatangan sel phagosit yang berfungsi untuk membersihkan daerah bencana dari debris mungkin juga berakibat sebaliknya bila sel phagosit ini memangsai juga sel yang masih belum sepenuhnya mati.
Dalam beberapa hari atau minggu akan terbentuk daerah yang rusak disekitar tempat bencana.
Penerusan impuls dari otak/susunan saraf pusat ke daerah inervasi dengan demikian jadi terputus dengan akibat lumpuhnya pasien.
Dengan demikian secara garis besarnya urutan kejadian mirip dengan apa yang terjadi pada otak yang mengalami stroke.

Pertolongan yang dapat diberikan adalah dengan :
Mengusahakan agar tidak terjadi dislokasi lebih besar dari vertebrae yang cedera.
Mengusahakan pengangkutan pasien secepatnya kepusat yang mempunyai kemampuan untuk menangani kasus ini dengan lebih dahulu memfiksir vertebrae yang diduga mengalami cedera.
Methylprednisolon dalam dosis tinggi dianggap berguna untuk melindungi sel saraf dari kerusakan yang berlebihan bila diberi dalam kurun waktu sebelum 6 jam.. Dosis yang diberi 500-1000 mg/hari, intravena.
Biasanya pasien ini akan dirawat oleh dokter ahli Bedah Saraf atau Bedah Ortopedi bila ditempat itu ada ahlinya. Peran dokter umum adalah mengusahakan pertolongan pertama yang optimal, sesuai teori kedokteran masa kini dengan tujuan agar pasien mencapai kesembuhan maksimal.

VII. Manajemen pasien tumor otak dengan herniasi.
Herniasi otak adalah berpindahnya jaringan otak dari satu kompartimen otak kelainnya.
Tumor otak yang tumbuh makin lama makin besar pada suatu saat akan mengadakan herniasi. Untuk tumor infratentorial proses terjadinya herniasi bahkan lebih cepat.
Tentang herniasi ini secara rinci akan dibicarakan pada waktu kuliah tentang tumor intrakranial.
Secara singkat : tergantung letaknya bisa terjadi hernia lewat hiatus tentorii yang dikenal juga sebagai uncal herniation atau hernia lewat foramen magnum untuk tumor di fossa posterior.
a) Uncal atau tentorial herniation.
Yang mengadakan herniasi adalah sebagian dari lobus temporalis ( uncus ) yang terdorong lewat lobang atau hiatus pada tentorium. Dengan demikian terjadi pendesakan pada struktur otak yang telah lebih dulu ada disitu yaitu mesensefalon dengan jaras piramidal serta nervus III.
Gejala yang nampak pada pasien adalah gejala terganggunya nervus III + gejala piramidal. Biasanya disertai dengan penurunan kesadaran dan tanda kenaikan tekanan intrakranial yang lain.
Tindakan :
Berikan larutan hiperosmolar seperti mannitol, 20%,dosis untuk dewasa biasanya 200 ml, diberi secara cepat dalam tempo 20-30 menit.
Berikan dexamethason, 5 mg intravena, 4x sehari.
Konsulkan ke ahli Bedah Saraf bila mungkin.
b) Herniasi lewat foramen magnum.
Biasanya terjadi karena tumor di fossa posterior.
Tonsilla cerebelli merosot kebawah lewat foramen magnum hingga terjadi penekanan pada medulla oblongata.
Gejala yang timbul adalah terjadinya decerebrate rigidity ditambah dengan gangguan pernafasan. Prognosa biasanya buruk walaupun diberi terapi untuk mengurangi tekanan intrakranial dengan cepat.
Secara teoretis masih ada beberapa jenis herniasi otak yang lain namun relatif lebih jarang dan kiranya tidak penting untuk seorang dokter umum.

VIII. Manajemen pasien dengan kelumpuhan periodik.
Definisi: kelumpuhan otot dengan arefleksia yang biasanya disertai dengan perobahan kadar ion Kalium:biasanya hipokalemik tapi bisa juga hiperkalemik. Keadaan ini biasanya reversibel akan tetapi bila tidak cepat diketahui bisa juga menyebabkan gangguan pada otot jantung.

1. Kelumpuhan hipokalemik.
Jenis ini biasanya terjadi pada usia sekitar 20 tahun,sering terdapat riwayat makanan karbohidrat dalam jumlah yang banyak dan aktivitas yang kurang. Kepastian diagnosa dengan ditemukannya kadar K-ion dalam darah < 3 meq/l. Diagnosa juga dapat dibuat dengantest provokasi pemberian glukosa 2 gram/kgbb + 10-20 IU insulin (saat tes kadar K-ion normal)

Diagnosa diferensial pasien hipokalemi
  1. Potassium-losing nephritis.
  2. Diabetic ketosis.
  3. Potassium depletion as from.
chronic diarrhoea
excessive sweating
ammonium therapy
liquorice toxicity
amphotericin B
barium salt ingestion
haemodialysis
renal tubular acidosis
ureterosigmoidostomy
primary aldosteronism
Bartter’s syndrome = secondary aldosteronism.

2. Kelumpuhan hiperkalemik.
Disebut juga adynamia episodica hereditaria atau myotonicperiodic paralysis. Usia biasanya lebih muda. Otot yang terkena tidak selalu sama. Myotonia bisa mengenai misalnya otot peri-okuler atau otot bulbair hingga menyulitkan proses menelan.Kadar kalium darah biasanya > 4-8 meq/l. Pemberian calcium glukonas 10% sebanyak 10 ml biasanya menolong. Cara lain yang dapat dipakai: makan banyak karbohidrat, pemberian diuretik yang juga membuang ion K atau inhalasi salbutamol.

Dasar timbulnya kelumpuhan adalah sama : terganggunya permeabilitas ion K dan Na dengan akibat peningkatan kesulitan untuk mempertahankan keseimbangan osmotic dan elektrik pada membransel.Akibatnya terjadi keadaan dimana "resting potential" sangat rendah àpompa sodium terganggu hingga otot menjadi lumpuh.

IX. Krisis myastenik.
Uraian rinci tentang penyakit otot ini tidak dibicarakan.
Letak gangguan adalah postsinaptik : terjadi kekurangan pada jumlah end-plate receptor acetylcholin yang mampu berfungsi.
Pada pasien dengan myastenia gravis yang sedang dalam pengobatan bisa terjadi keadaan dimana kelumpuhan mendadak memburuk. Keadaan ini biasanya disebut krisis myastenik. Penyebabnya bisa karena dosis obat yang kurang atau juga dosis obat yang terlampau tinggi.
Bila kesimpulan dokter salah : dosis sudah tinggi tapi disangka kurang dan diberi tambahan obat antikholinesterase seperti Mestinon maka kelemahan akan bertambah hingga bisa membahayakan nyawa pasien. Dulu dianjurkan pemberian edrophonium hydrochloride secara intravena (tensilon test).
Obat ini hanya bekerja 1 menit dan karena itu dianggap tidak berbahaya. Obat ini di Surabaya tidak ada.
Pendapat sekarang : sebaiknya pasien dengan krisis miastenik dirawat di ICU, semua obat distop, kalau perlu selama krisis pernafasan dibantu dengan ventilator. Biasanya bila kelebihan obat dalam beberapa jam gejala kelemahan otot akan berkurang. Bila belum berkurang setelah beberapa jam berarti dosis obat terlampau rendah : perlu diberi Prostigmin atau Mestinon.

Bacaan :
1. Critchley E.M.R.:Neurological emergencies.Saunders, 1988.
Hopkins A.: Clinical Neurology, Oxford Univ. press, 1993.
Tunkel AR, Scheld WM: Acute bacterial meningitis.
Lancet 1995, 346, 1675-80.
Chiles III.BW., Cooper PR. Current Concepts: Acute Spinal
Injury. New Engl.J.of Med. 1996, 334, 514-520.
Shorvon S. Status Epilepticus. Its clinical features abd treatment in children and adults. Cambridge University Press, 1994.

No comments:

Post a Comment