Tuesday, December 31, 2013

Belajar Sistem dan Cara Pengadaan Barang dan Jasa di Rumah Sakit atau Instansi / Lembaga Pemerintah

Belajar Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah untuk pemula (I)

Sebagian besar dari kita mungkin sudah tidak asing mendengar kata tender pengadaan barang/jasa pemerintah. Secara sederhana bila digambarkan kegiatan tender pengadaan barang/jasa pemerintah adalah kompetisi secara jujur antara peserta tender (para pengusaha yang berminat menjadi mitra kerja sebagai penyedia barang/jasa yang diminta) yang diselenggarakan oleh panitia tender / pengguna barang/jasa.
Latar belakang Kegiatan Pengadaan Barang/Jasa adalah :
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang efisien, terbuka dan kompetitif sangat diperlukan bagi ketersediaan Barang/Jasa yang terjangkau dan berkualitas, sehingga akan berdampak pada peningkatan pelayanan publik;
Definisi :
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya (K/L/D/I) yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa.
Sumber Dana :
Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan pemerintah pembiayaannya baik sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD.
Pelaksanaan :
  • Swakelola : Pengadaan Barang/Jasa dimana pekerjaannya direncanakan, dikerjakan dan/atau diawasi sendiri oleh K/L/D/I sebagai penanggung jawab anggaran, instansi pemerintah lain dan/atau kelompok masyarakat.
  • Pemilihan Penyedia Barang/Jasa : Pengadaan Barang/Jasa dimana pekerjaannya dikerjakan oleh pihak lain yang memiliki kompetensi dalam melakukan pekerjaan tersebut yang pekerjaannya diawasi oleh K/L/D/I sebagai penanggung jawab anggaran, sesuai perencanaan yang telah dibuat.
Meliputi Pengadaan :
  • Barang;
  • Pekerjaan Konstruksi;
  • Jasa Konsultansi; dan
  • Jasa Lainnya.
Prinsip :
  • efisien;
  • efektif;
  • transparan;
  • terbuka;
  • bersaing;
  • adil/tidak diskriminatif; dan
  • akuntabel.
Etika Pengadaan :
  1. Melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab untuk mencapai sasaran, kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan Pengadaan Barang/Jasa;
  2. Bekerja secara profesional dan mandiri, serta menjaga kerahasiaan Dokumen Pengadaan Barang/Jasa yang menurut sifatnya harus dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam Pengadaan Barang/Jasa;
  3. Tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung yang berakibat terjadinya persaingan tidak sehat;
  4. Menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis para pihak;
  5. Menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses Pengadaan Barang/Jasa;
  6. Menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam Pengadaan Barang/Jasa;
  7. Menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara; dan
  8. Tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan berupa apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa.

Kategori dan Pembagian Kelas Rumah Sakit di Indonesia

Jenis dan Klasifikasi Rumah Sakit

Rumah sakit adalah suatu Fasilitas Pelayanan Kesehatan perorangan yang menyediakan Rawat Inap dan Rawat Jalan yang memberikan pelayanan kesehatan jangka pendek dan jangka panjang yang terdiri dari Observasi, Diagnostik, Terapeutik dan Rehabilitatif untuk orang-orang yang menderita Sakit, Cidera dan Melahirkan.

Berdasarkan Jenis Pelayanan yang diberikan, rumah sakit dikategorikan dalam 2 Klasifikasi yakni:

1. Rumah Sakit Umum:

  • Rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit,
  • RSU milik pemerintah dibagi dalam 4 tipe/kelas (A, B, C, D)

Rumah Sakit Tipe D

  • adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis Dasar

Rumah Sakit Tipe C

  • adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis Spesialitik Dasar yang meliputi spesialis :
–penyakit dalam,
–kesehatan anak,
–kebidanan dan kandungan
–bedah.

Rumah Sakit Tipe B

  • adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis sekurang-kurangnya 11 Spesialistik dan Sub Spesialistik Terbatas.
–Penyakit dalam,
–Kesehatan anak,
–Kebidanan dan penyakit kandungan,
–Bedah,
–Anesthesi,
–THT
–Kulit dan Kelamin,
–Radiologi,
–Pathologi klinik,
–Psikiatri,
–Neurologi,
–Mata,
–Bedah Digestif/Ortopedi
–Kardiologi

Rumah Sakit Tipe A

  • adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis Spesialistik Luas dan Sub Spesialistik Luas.
–Penyakit dalam,
–Kebidanan dan penyakit kandungan,
–Bedah,
–Kesehatan anak,
–Telinga, hidung dan tenggorokan,
–Mata,
–Syaraf,
–Jiwa,
–Kulit dan kelamin,
–Jantung,
–Paru,
–Radiologi,
–Anesthesi,
–Rehabilitasi medis,
–Patologi klinis,
–Patologi anatomi.
–dll

2. Rumah Sakit Khusus:

  • Rumah sakit yang memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit atau kekhususan lainnya.
  • Rumah sakit khusus meliputi :
  1. Rumah Sakit Jiwa
  2. Rumah Sakit Kusta
  3. Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA)
  4. Rumah Sakit Bersalin (RSB), dan
  5. Rumah sakit khusus lainnya

Bila dikategorikan menurut kepemilikan/pengelolanya, maka rumah sakit dapat dibagi menjadi rumah sakit publik dan rumah sakit privat. Secara umum, kepemilikan rumah sakit terbagi atas :

  1. Rumah Sakit Vertikal (Depkes)
  2. Rumah Sakit Provinsi (Pemda Provinsi)
  3. Rumah Sakit Kabupaten/Kota (Pemda Kabupaten/Kota)
  4. Rumah Sakit TNI/Polri
  5. Rumah Sakit Departemen Lain/BUMN
  6. Rumah Sakit Swasta

Daftar Kebutuhan Alat Kesehatan Rumah Sakit - Pengadaan Barang

I. KLASIFIKASI KELAS ALAT KESEHATAN DAN PKRT

A. ALAT KESEHATAN

1. Kelas I

Alat kesehatan yang kegagalan atau salah penggunaannya tidak rnenyebabkan akibat yang berarti. Penilaian untuk alat kesehatan ini dititikberatkan hanya pada mutu dan produk.

2. Kelas IIa

Alat kesehatan yang kegagalannya atau salah penggunaannya dapat memberikan akibat yang berarti kepada pasien tetapi tidak menyebabkan kecelakaan yang serius. alat kesehatan ini sebelum beredar perlu mengisi dan memenuhi persyaratan yang cukup lengkap untuk dinilai tetapi tidak memerlukan uji klinis.

3. Kelas IIb

Alat kesehatan yang kegagalannya atau salah penggunaannya dapat memberikan akibat yang sangat berarti kepada pasien tetapi tidak menyebabkan kecelakaan yang serius. Alat kesehatan ini sebelum beredar perlu mengisi dan memenuhi persyaratan yang lengkap termasuk analisa resiko dan bukti keamanannya untuk dinilai tetapi tidak memerlukan uji klinis.

4. Kelas III

Alat kesehatan yang kegagalan atau salah penggunaannya dapat memberikan akibat yang serius kepada pasien atau perawat/operator. Alat kesehatan ini sebelum beredar perlu mengisi formulir dan memenuhi persyaratan yang lengkap termasuk analisa resiko dan bukti keamanannya untuk dinilai serta memerlukan uji klinis.

B. PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA

1. Kelas I (Resiko rendah)

PKRT yang pada penggunaannya tidak menimbulkan akibat yang berarti seperti iritasi, korosif, karsinogenik. PKRT ini sebelum beredar perlu mengisi formulir pendaftaran tanpa harus disertai hasil pengujian laboratorium. Contoh: kapas , tissue.

2. Kelas II (Resiko sedang)

PKRT yang pada penggunaannya dapat menimbulkan akibat seperti iritasi, korosif tapi tidak menimbulkan akibat serius seperti karsinogenik. PKRT ini sebelum beredar perlu mengisi formulir pendaftaran dan memenuhi persyaratan disertai hasil pengujian laboratorium. Contoh: Deterjen, Alkohol.

3. Kelas Ill (Resiko Tinggi)

PKRT yang mengandung Pestisida dimana pada penggunaannya dapat menimbulkan akibat serius seperti karsinogenik. PKRT ini sebelum beredar perlu mengisi formulir pendaftaran dan memenuhi persyaratan, melakukan pengujian pada laboratorium yang telah ditentukan serta telah mendapatkan persetujuan dan KOMISI PESTISIDA Contoh: Anti nyamuk bakar, repelan.

II. KATEGORI DAN SUB KATEGORI ALAT KESEHATAN DAN PKRT

A. KATEGORI DAN SUB KATEGORI ALAT KESEHATAN

1. PERALATAN KIMIA KLINIK DAN TOKSIKOLOGI KLINIK

a. Sistem Tes Kimia Klinik
b. Peralatan Laboratorium klinik
c. Sistem Tes Toksikologi klinik

2. PERALATAN HEMATOLOGI DAN PATOLOGI

a. Pewarna Biological
b. Produk Kultur Sel dan Jaringan
c. Peralatan dan Asesori Patologi
d. Pereaksi Penyedia Specimen
e. Peralatan Hematologi Otomatis dan Semi Otomatis
f. Peralatan Hematologi Manual
g. Paket dan Kit hematologi
h. Pereaksi Hematologi
i. Produk yang digunakan dalam pembuatan sediaan darah dan sediaan berasal dau darah

3. PERALATAN IMUNOLOGI DAN MIKROBIOLOGI

a. Peralatan Diagnostika
b. Peralatan Mikrobiologi
c. Pereaksi Serologi
d. Perlengkapan dan Pereaksi Laboratorium Imunologi
e. Sistem Tes Imunologikal
f. Sistem Tes Imunologikal Antigen Tumor

4. PERALATAN ANESTESI

a. Peralatan Anestesi Diagnostik
b. Peralatan Anestesi Pemantauan
c. Peralatan Anestesi Terapetik
d. Peralatan Anestesi Lainnya

5. PERALATAN KARDIOLOGI

a. Peralatan Kardiologi Diagnostik
b. Peralatan Kardiotogi Pemantauan
c. Peralatan Kardiologi Prostetik
d. Peralatan Kardiologi Bedah
e. Peratatan Kardiologi Terapetik

6. PERALATAN GIGI

a. Peralatan Gigi Diagnostik
b. Peralatan Gigi Prostetik
c. Peralatan Gigi Bedah
d. Peralatan Gigi Terapetik
e. Peralatan Gigi Lainnya

7. PERALATAN TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN (THT)

a. Peralatan THT Diagnostik
b. Peralatan THT Prostetik
c. Peralatan THT Bedah
d. Peralatan THT Terapetik

8. PERALATAN GASTROENTEROLOGI-UROLOGI (GU)

a. Peralatan GU Diagnostik
b. Peralatan GU Pemantauan
c. Peralatan GU Prostetik
d. Peralatan GU Bedah
e. Peralatan GU Terapetik

9. PERALATAN RUMAH SAKIT UMUM DAN PERORANGAN (RSU & P)

a. Peralatan RSU & P Pemantauan
b. Peralatan RSU & P Terapetik
c. Peralatan RSU & P Lainnya

10. PERALATAN NEUROLOGI

a. Peratatan Neurologi Diagnostik
b. Peralatan Neurologi Bedah
c. Peralatan Neurotogi Terapetik

11. PERALATAN OBSTETRIK DAN GINEKOLOGI (OG)

a. Peralatan OG Diagnostik
b. Peralatan OG Pemantauan
c. Peralatan OG Prostetik
d. Peralatan OG Bedah
e. Peralatan OG Terapetik
f. Peralatan Bantu Reproduksi

12. PERALATAN MATA

a. Peralatan Mata Diagnostik
b. Peralatan Mata Prostetik
c. Peralatan Mata Bedah
d. Peralatan Mata Terapetik

13. PERALATAN ORTOPEDI

a. Peralatan Ortopedi Diagnostik
b. Peralatan Ortopedi Prostetik
c. Peralatan Ortopedi Bedah

14. PERALATAN KESEHATAN FISIK

a. Peralatan Kesehatan Fisik Diagnostik
b. Peralatan Kesehatan Fisik Prostetik
c. Peratatan Kesehatan Fisik terapetik

15. PERALATAN RADIOLOGI

a. Peralatan Radiologi Diagnostik
b. Peralatan Radiologi Terapetik
c. Peralatan Radiologi Lainnya

16. PERALATAN BEDAH UMUM DAN BEDAH PLASTIK

a. Peralatan Bedah Diagnostik
b. Peratatan Bedah Prostetik
c. Peralatan Bedah
d. Peratatan Bedah Terapetik

B. KATEGORI DAN SUB KATEGORI PKRT

1. TISSUE DAN KAPAS

a. Kapas kecantikan
b. Facial tissue
c. Toilet tissue
d. Tissue basah
e. Tissue makan
f. Cotton bud
g. Paper towel
h. Tissue dan kapas lainnya

2. SEDIAAN UNTUK MENCUCI

a. Sabun cuci
b. Deterjen
c. Pelembut cucian
d. Pemutih
e. Enzim pencuci
f. Pewangi pakaian
g. Sabun cuci tangan
h. Sediaan untuk mencuci lainnya

3. PEMBERSIH

a. Pembersih peralatan dapur
b. Pembersih kaca
c. Pembersih lantai
d. Pembersih porselen
e. Pembersih kloset
f. Pembersih mebel
g. Pembersih karpet
h. Pembersih mobil
i. Pembersih sepatu
j. Penjernih air
k. Pembersih Iainnya

4. ALAT PERAWATAN BAYI

a. Dot dan sejenisnya
b. Popok bayi
c. Botol susu
d. AIat perawatan bayi lainnya

5. ANTISEPTIKA DAN DESINFEKTAN

a. Antiseptika
b. Disinfektan
c. Antiseptika dan disinfektan Iainnya

6. PEWANGI

a. Pewangi ruangan
b. Pewangi telepon
c. Pewangi mobil
d. Pewangi kulkas
e. Pewangi lainnya

7. PESTISIDA RUMAH TANGGA

a. Pengendali serangga
b. Pencegah serangga
c. Pengendali kutu rambut
d. Pengendali kutu binatang peliharaan (bukan ternak)
e. Pengendali tikus rumah
f. Pestisida rumah tangga Iainnya
Sumber : Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor : 1190/MENKES/PER/VIII/2010 Tanggal : 23 Agustus 2010

Monday, December 30, 2013

Pengumuman Jadwal CPNS terbaru 2014

Hallo semua calon peserta tes CPNS 2014 yang tentunya ingin mengetahui kabar mengenai formasi yang akan dibuka pada penerimaan CPNS 2014 untuk Pelamar Umum secara Online di masing-masing Kabupaten dan Kota yang menyelenggarakan pendaftaran CPNS 2014 sebagai langkah pemenuhan atas kekurangan pegawai yang terjadi, nah informasi tersebut akan coba SoalCPNS2014.Com ulas disini dalam "Formasi CPNS 2014 Pelamar Umum Online Kabupaten dan Kota" semoga saja bisa bermanfaat dan sesuai dengan yang dicari oleh calon pelamar CPNS 2014 semuanya.

Bila sedikit bercermin dari penerimaan CPNS 2013 maka sebagian besar pendaftarannya baik di kota maupun kabupaten dilaksanakan secara online yakni di situsnya BKN dengan tindak lanjut pelaksanan tes menggunakan metode terbaru yang lebih transparan yakni metode CAT (computer assisted test) di kantor regional daerah masing-masing.

Namun dengan keterbatasan fasilitas CAT sebagai penunjang pelaksanaan tes CPNS pelamar umum maka di tahun sebelumnya belum semua kota dan kabupaten menggunakan sistem ini namun dengan keberhasilan pelaksanaan CAT CPNS yang dinilai praktis meminimalisir kesalahan peserta dalam hal teknis menjawab soal-soal tes CPNS yang diberikan nampaknya metode ini akan kembali diterapkan pada kota dan kabupaten yang lebih banyak dibandingkan dengan tahun lalu.

Sedangkan untuk pendaftaran di masing-masing formasi masih seperti tahun lalu dengan sistem online di situsnya BKN untuk mendapatkan nomor registrasi yang nantinya akan dilampirkan dalam pengiriman berkas lamaran ke BKD kota atau kabupaten penyelenggara CPNS yang diminati untuk bisa dilakukan seleksi administrasi nantinya.

Nah untuk formasinya yang akan dibuka dalam CPNS 2014 sedang menantikan usulan dari masing-masing daerah baik kota maupun kabupaten yang nantinya diketahui setelah usulan formasi yang diajukan diterima dan disetujui oleh Kemenpan dengan pertimbangan kesesuaian dengan penggunaan dana anggaran dari kota maupun kabupaten yang mengajukan usualan formasi CPNS 2014.

Untuk waktu penetapan formasi sendiri masih butuh proses yang cukup panjang hingga menjelang akhir tahun 2014 oleh karenanya kami akan coba berbagi informasi tersebut disini sesuai dengan update terbaru dari berbagai sumber yang akan memberikan info seperti yang dibutuhkan oleh calon pelamar CPNS 2014 semuanya.

Agar bisa mendapatkan info yang lebih lanjut terkait dengan Formasi CPNS 2014 Pelamar Umum Online untuk Kabupaten dan Kota coba cek di halaman lainnya yang memang dirangkum untuk memuat kabar-kabar tersebut di CPNS Kab/Kota.

Demikianlah sedikit keterangan mengenai formasi CPNS 2014 seperti yang dicari, nah sebagai pelengkap informasi masih mengenai tes CPNS 2014 maka kami juga telah merangkum beberapa di antaranya yang mungkin diperlukan sebagai penunjang info terkait CPNS 2014 yang dibutuhkan yakni;

Sedikit penjelasan mengenai 3 hal penting diatas yakni untuk bisa lulus dalam tes CPNS 2014 yang akan berlangsung diharuskan lulus passing grade dari setiap komposisi soal tes TKD (tes kompetensi dasar) yang diujikan yang semua akan jauh lebih mudah dikerjakan bila mempelajari contoh soal-soal tes CPNS yang bisa diperoleh dengan mengikuti petunjuk link download soal CPNS tersebut, terima kasih.

Sunday, December 29, 2013

Laporan Pendahuluan Dan Aasuhan Keperawatan Pada Pasien Diabetes Melitus dengan Tuberkulosis

TUBERKULOSIS PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS SUATU MASALAH KEPERAWATAN RESIKO

TUBERKULOSIS PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS
SUATU MASALAH KEPERAWATAN RESIKO
A. Konsep Diabetes mellitus dan Tuberkulosis Paru
1. Definisi
Diabetes mellitus adalah gangguan kronis metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Diabetes mellitus ini mempunyai etiologi yang bermacam-macam, meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda akhirnya akan mengarah pada insufisiensi insulin. Tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita diabetes mellitus (Price & Wilson, 1995).
Diabetes mellitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan (Noer, 1999). Lebih lanjut Noer (1999) menyatakan bahwa diabetes mellitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari adanya perubahan seperti minum yang menjadi banyak, buang air kecil lebih sering lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala-gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi berobat dan diperiksa kadar glukosanya.
Noer (1999) juga mengatakan bahwa diabetes mellitus mungkin pula ditemukan pada pasien yang berobat untuk infeksi saluran kemih dan tuberkulosis paru. Hal ini disebabkan karena penderita diabetes mellitus mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terserang penyakit infeksi, khususnya tuberkulosis paru. Jika kepada mereka kemudian ditanyakan dengan teliti mengenai gejala dan tanda diabetes mellitus, pada umumnya juga akan ditemukan gejala khas diabetes mellitus, yaitu poliuria akibat diuresis osmotik, polidipsia, dan berat badan yang menurun. Dengan sendirinya, untuk diagnosa pasti harus dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah (Noer, 1999)
Tuberkulosis paru (sering disingkat dengan TB paru) adalah suatu penyakit infeksi yang biasanya menyerang paru-paru, tetapi dapat juga menyerang hampir setiap bagian dari tubuh. Tuberkulosis paru dapat ditularkan dari orang ke orang melalui udara (American Lungs Association, 2005). Sedangkan Hinsaw & Murray (1980 dikutip dalam Yunus dkk, 1992) menyatakan bahwa tuberkulosis paru adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh basil Mikobakterium tuberkulosis yang secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis pada jaringan. Infeksi ini mengenai berbagai organ di dalam tubuh, tetapi yang sering terkena adalah jaringan paru.
Secara teoritis diagnosis tuberkulosis paru tidaklah susah. Diagnosis bisa ditegakkan berdasarkan gejala klinis, temuan kelainan pada pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan radiologist toraks, dan pemeriksaan bakteriologis (Chan, 2005). Lebih lanjut Chan (2005) menyatakan bahwa diagnosis pasti tuberkulosis paru ditegakkan bila ditemukan BTA positif dalam sputum penderita. Bila BTA negatif, hasil pemeriksaan foto roentgen dada yang relevan untuk tuberkulosis dipakai sebagai dasar diagnosis. Selain itu tipe penderitanya pun dapat dibedakan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya yaitu Kasus Baru, Kasus Kambuh (Relaps), Gagal Pengobatan (Treatment Failure), Kasus Berobat Setelah Lalai (Pengobatan Setelah Default/Drop Out), Kasus Pindahan (Transfer In) dan Kasus Kronik (Situmeang, 2004).
2. Tuberkulosis paru sebagai salah satu komplikasi diabetes mellitus
Infeksi tuberkulosis pada diabetes mellitus biasanya lebih sering disebabkan oleh reaktivasi dari fokus infeksi yang lama daripada kontak dengan penderita tuberkulosis paru yang baru saja terjadi. Dengan alasan inilah, tuberkulosis digambarkan sebagai komplikasi dari diabetes mellitus (Rao, 2005). Hal yang senada disampaikan oleh Noer (1999), diabetes mellitus jika tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan timbulnya komplikasi pada berbagai organ. Sejak ditemukannya insulin oleh Banting dan Best tahun 1921 serta kemudian dikembangkan dan diterapkannya pengelolaan terhadap penderita diabetes mellitus, gambaran komplikasi diabetes mellitus bergeser dari komplikasi akut ke arah komplikasi kronik. Salah satu komplikasi kronik diabetes mellitus adalah mudah timbul infeksi (makro dan mikrovaskuler) yang salah satunya adalah infeksi tuberkulosis pada paru-paru.
Diabetes mellitus juga diakui sebagai salah satu faktor resiko independen terhadap berkembangnya infeksi saluran pernapasan bawah (Guptan & Shah, 2000). Secara umum, organisme yang menyebabkan infeksi/peradangan pada paru-paru memiliki kesamaan pada populasi non-diabetik; tetapi organisme gram-negatif, Stafilokokkus aureus, dan Mikobakterium tuberkulosis paru yang lebih sering patogen (Braunwald dkk, 2001). Selanjutnya individu dengan diabetes mellitus memperlihatkan suatu kekerapan dan derajat infeksi yang lebih berat. Pertimbangan yang dipakai untuk peningkatan infeksi ini meliputi kesenjangan yang menggambarkan kelainan pada imunitas cell-mediated dan fungsi fagosit berhubungan dengan hiperglikemia, seperti halnya berkurangnya vaskularisasi sekunder terhadap diabetes mellitus jangka panjang (Lakshmi & Murthy, 1999).
Mengenai mekanisme predisposisi pasien diabetes mellitus menjadi tuberkulosis paru belum dapat diketahui sepenuhnya. Perubahan pada imunitas seluler telah pernah diajukan. Hiperglikemia dapat menjadi predisposisi kerusakan pada fungsi monosit-makrofag (Rom & Garay, 2004). Lebih lanjut menurut Guptan dan Shah (2000) bahwa abnormalitas multipel pada fungsi fisiologis paru juga ditemukan pada diabetes mellitus yang berkontribusi terhadap keterlambatan pada perlawanan infeksi dan penyebarannya di dalam tubuh penderita.
3. Aspek klinis dan radiologis tuberkulosis paru pada penderita diabetes mellitus
Guptan dan Shah (2000) menyatakan bahwa gejala penyakit diabetes mellitus yang disertai oleh tuberkulosis paru penyakit akan saling menutupi, di antaranya pada kedua penyakit tersebut secara bersamaan terdapat penurunan berat badan, kehilangan nafsu makan dan kelelahan umum. Lebih lanjut Guptan dan Shah (2000) menyatakan bahwa kondisi ini lebih umum terjadi pada usia di atas 40 tahun dan pria memiliki resiko yang agak lebih besar dari pada wanita. Pasien tuberkulosis paru yang menderita diabetes mellitus memiliki kondisi klinik yang lebih berat sewaktu terjadinya onset penyakit, apalagi dengan derajat keterlibatan dan kerusakan paru yang lebih besar.
Aspek radiologis pada tuberkulosis paru dan diabetes mellitus yang terjadi bersamaan menurut Guptan dan Shah (2000) pertamakalinya digambarkan oleh Sosman dan Steidl (1927) yang melaporkan bahwa diabetik tuberkulosis paru mempunyai gambaran radiologis khusus terdiri dari gambaran pertemuan aliran sungai, kavitasi, lesi yang menyebar dari hilum sampai perifer, predominan pada area bawah dengan luas sekitar 20%. Tetapi Ikezoe dkk (1992) dikutip Rom & Garay (2004), dalam tinjauan gambaran Computerized Tomography (CT) terhadap tuberkulosis paru pada pasien diabetik, menemukan bahwa tak ada predileksi lokasi yang tak lazim (lobus bawah, segmen anterior lobus atas atau lobus tengah kanan), namun terdapat prevalensi yang lebih tinggi multipel kavitas dalam beberapa lesi yang ada seperti distribusi non segmental dari tuberkulosis.
4. Pencegahan tuberkulosis paru pada penderita diabetes mellitus
Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor yang menurunkan daya tahan alamiah dan didapat terhadap penyakit infeksi termasuk tuberkulosis paru. Karena itu dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan roentgenologis toraks pada penderita diabetes mellitus (Taufik, 1992). Sebagaimana Guptan dan Shah (2000) juga mennyatakan bahwa semua pasien diabetes mellitus perlu pemeriksaan medis yang teratur dan pemeriksaan radiogram dada setiap tahunnya. Hal ini harus dilaksanakan dengan lebih ketat pada pasien yang berumur di atas 40 tahun atau pasien dengan berat badan yang kurang dari 10% dari berat badan ideal.
Lebih lanjut Guptan dan Shah (2000) menyatakan terhadap beberapa kasus diabetik yang mengalami batuk yang tiba-tiba, kehilangan berat badan, radiogram dada abnormal atau yang membutuhkan peningkatan dosis insulin untuk kontrol gula darah harus diperiksa kemungkinan adanya tuberkulosis paru.
American Thoracic Society (1986) telah merekomendasikan pada pasien diabetik, terutama pasien diabetes mellitus Tergantung Insulin dengan kontrol yang jelek, harus diberi kemoprofilaksis INH. Meskipun, kemoprofilaksis primer mungkin berguna pada komunitas tertentu dengan prevalensi diabetes mellitus dan tuberkulosis paru yang tinggi. Kemoprofilaksis sekunder pada pasien diabetik dengan tuberkulin positif biasanya direkomendasikan, walaupun beberapa penyelidik masih mempertanyakan apa manfaatnya yang nyata pada pasien diabetik tersebut (Rose dkk, 1985 dikutip dalam Guptan & Shah, 2000).
B. Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Terjadinya Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Mellitus
Faktor yang secara umum menyebabkan kejadian infeksi tuberkulosis paru meliputi keadaan sosial lemah/miskin, diabetes mellitus, penduduk imigran, tidak mendapat vaksinasi BCG dan infeksi HIV (Gaude GS, 1998 dikutip dalam Lakshmi & Murthy, 1999). Faktor lain yang tak kalah pentingnya menurut Yunus dkk (1992) adalah faktor pengetahuan yang kurang dari masyarakat yang menyebabkan tingginya angka kesakitan dan kematian akibat tuberkulosis paru. Sementara American Lungs Association (2005) menambahkan dengan beberapa faktor lain, yaitu: orang-orang kontak erat penderita TB yang infeksius, orang-orang yang bekerja atau yang berada pada fasilitas perawatan jangka panjang (perawatan di rumah, penjara, rumah sakit) dan para pekerja pelayanan kesehatan dan lainnya seperti pengawal penjara, serta orang-orang terlantar dan tunawisma.
Namun untuk kejadian tuberkulosis paru pada penderita diabetes mellitus sendiri menurut Singh (1997 dikutip dalam Lakshmi dan Murthy, 1999) adalah adalah: jenis kelamin, umur, ras, malnutrisi dan lama penyakit (duration of illness). Dengan demikian, faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya tuberkulosis paru pada penderita diabetes mellitus adalah faktor umur, faktor jenis kelamin, faktor pengetahuan, faktor pekerjaan, faktor sosial ekonomi, faktor malnutrisi (IMT < 18,5 kg/m2), faktor lama penyakit diabetes mellitus, faktor kontak erat dengan penderita tuberkulosis paru, faktor faktor ras dan faktor penduduk imigran serta faktor infeksi HIV.
1. Faktor umur
Umur termasuk variabel yang penting dalam mempelajari suatu masalah kesehatan karena ada kaitannya dengan daya tahan tubuh seseorang (Azwar, 1999). Sedangkan daya tahan tubuh terhadap penyakit tuberkulosis terutama ditentukan oleh keampuhan sistem imunitas seluler dan setiap ada faktor yang mempengaruhinya secara negatif akan meningkatkan kerentanan terhadap tuberkulosis paru (Danusantoso, 1999).
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa pada penderita diabetes mellitus terdapat kondisi hiperglikemia akan dapat menjadi predisposisi kerusakan pada fungsi monosit-makrofag. Di sisi lain Danusantoso (1999) menyatakan proses penuaan dapat menyebabkan perubahan-perubahan pada sistem pernapasan yang mengakibatkan penurunan fungsi paru, berupa: penurunan kekuatan dan kekakuan pada otot pernapasan, menurunnya aktivitas silia, berkurangnya elastisitas paru dan reflek batuk juga akan menurun. Maka kondisi umur tua dan diabetes mellitus, keduanya akan sama-sama memperlemah sistem pertahanan tubuh dan hal ini juga diperkuat oleh Lakshmi dan Murthy, 1999 menyatakan bahwa umur pasien dan derajat diabetes mellitus merupakan faktor yang signifikan menyokong terjadinya infeksi tuberkulosis.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin tua umur seorang penderita, maka keampuhan sistem imunitas tubuhnya akan semakin berkurang. Sebagaimana halnya Guptan dan Shah (2000) membagi kategori usia penderita dengan dua kategori, yaitu umur 40 tahun ke atas dan umur dibawah 40 tahun. Pada kenyatannya di India penderita diabetes mellitus yang berumur di atas 40 tahun lebih sering terkena tuberkulosis paru dibandingkan dengan usia dibawah 40 tahun.
2. Faktor jenis kelamin
Menurut Azwar (1999) kondisi perbedaan jenis kelamin juga mempengaruhi penyebaran suatu masalah kesehatan, diantaranya terdapatnya perbedaan kebiasaan hidup antara wanita dan pria. Kaum pria lebih banyak yang merokok daripada kaum wanita. Selanjutnya terdapat perbedaan tingkat kesadaran berobat antara wanita dan pria. Pada umumnya kaum wanita lebih memiliki kesadaran yang baik untuk berobat daripada kaum pria. Hal yang tak kalah pentingnya adalah terdapatnya perbedaan macam pekerjaan, karena memang kaum pria yang lebih banyak bekerja.
Guptan dan Shah (2000) melaporkan bahwa perbandingan angka kejadian tuberkulosis paru pada penderita diabetes mellitus untuk pria dan wanita masing-masing adalah 10% dan 8,7%. Maka dengan demikian angka kejadian tuberkulosis paru lebih tinggi pada penderita diabetes mellitus laki-laki daripada wanita.
3. Faktor Pengetahuan
Secara umum Yunus dkk (1992) menyatakan bahwa faktor pengetahuan yang kurang dari masyarakat merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tingginya angka kesakitan dan kematian akibat penyakit tuberkulosis paru di Indonesia. Pada penelitian AB Silfa 2006 terhadap pasien diabetes mellitus yang dirawat di Irna C Penyakit Dalam RS DR. M. Djamil Padang menggunakan uji statistik Fisher’s Exact terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan pasien dengan kejadian tuberkulosis paru pada pasien diabetes mellitus.
Pengetahuan menurut Notoatmodjo (1997) merupakan hasil “tahu”, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behavior). Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata prilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada prilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.
Penelitian Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (1997) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi prilaku baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, seperti: awareness (kesadaran), interest (merasa tertarik), evaluation (menimbang-nimbang) trial, dan adoption, dimana subjek telah berprilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Bertitik tolak dari pernyataan Notoatmodjo (1997) tentang pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang, maka jika pasien diabetes mellitus memiliki pengetahuan kesehatan yang baik tentang resiko terjadinya tuberkulosis paru, pasien akan mampu melaksanakan tindakan memodifikasi gaya hidupnya untuk mencegah tuberkulosis paru tersebut. Hal ini dapat diwujudkan dengan melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin, mematuhi dan melaksanakan program pengobatan serta selalu menjaga kesehatan dan kebugarannya. Sebagaimana Guptan dan Shah (2000) juga menganjurkan agar semua pasien diabetes mellitus perlu pemeriksaan medis yang teratur dan pemeriksaan radiogram dada setiap tahunnya.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden (Notoatmodjo, 1997).
4. Faktor pekerjaan
Notoatmodjo (1997) menyatakan bahwa jenis pekerjaan dapat berperan di dalam timbulnya penyakit melalui beberapa jalan, meliputi faktor lingkungan lingkungan pekerjaan, stress kerja, aktivitas pekerjaan, dan kerumunan dalam suatu tempat pekerjaan akan dapat terjadi proses penularan penyakit di antara para pekerja. Sebagaimana tuberkulosis paru ini dapat ditularkan melalui percikan sputum (droplet nuclei), yang berukuran ± 5 mikron, yang mengandung basil tuberkulosis.
Perbedaan jenis pekerjaan yang dimiliki seseorang, menyebabkan terdapatnya pula perbedaan status sosial ekonomi (Azwar, 1999). Dimana pada keadaan sosial ekonomi yang lemah, penyakit tuberkulosis paru pada penderita diabetes mellitus akan mudah berjangkit disebabkan faktor sosial ekonomi yang lemah seperti yang dinyatakan oleh Aditama (1990) akan menyebabkan sesorang susah untuk menjangkau fasilitas pelayanan kesehatan, termasuk dalam hal pemeriksaan kesehatan rutin dan dalam hal membeli obat-obatan.
Berkaitan juga dengan jenis pekerjaan ini American Lungs Association (2005) menyatakan beberapa orang yang mempunyai resiko terkena penyakit tuberkulosis paru adalah: orang-orang yang bekerja atau yang berada pada fasilitas perawatan jangka panjang (perawatan di rumah, penjara, rumah sakit) dan para pekerja pelayanan kesehatan lainnya seperti pengawal penjara, serta orang-orang terlantar dan tunawisma. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perbedaan jenis pekerjaan berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru pada penderita diabetes mellitus.
5. Faktor sosial ekonomi
Tuberkulosis paru umumnya menyerang masyarakat miskin (Yunus dkk, 1992). Lebih lanjut Aditama (1990) menyatakan akibat status sosial ekonomi yang rendah, maka seseorang akan sulit untuk menjangkau fasilitas kesehatan, tidak mampu membeli obat-obatan, tidak dapat memperoleh pendidikan yang tinggi, serta tidak mempunyai tempat tinggal yang layak. Sementara Yunus dkk (1992) juga menyatakan bahwa kemiskinan mengharuskan bekerja keras (secara fisik), sehingga akan menurunkan daya tahan tubuh.
Menurut Azwar (1990), dalam membicarakan hubungan antara status sosial ekonomi dengan masalah kesehatan, yang paling sulit untuk menentukan status sosial ekonomi seseorang. Penentuan status sosial ekonomi secara langsung dapat dilakukan dengan cara mengumpulkan data tentang penghasilan dan kekayaan yang dimiliki. Namun hal ini amat sulit dilakukan di negara-negara yang sedang berkembang.
Di Inggris penggolongan status sosial ekonomi didasarkan atas jenis pekerjaan seseorang, yakni: (I) professional, (II) menengah, (III) tenaga terampil, (IV) tenaga setengah terampil, dan (V) tidak mempunyai keterampilan. Di Indonesia penggolongan seperti ini sulit karena jenis pekerjaan tidak memberikan jaminan dalam perbedaan tingkat penghasilan (Notoatmodjo, 1997).
Rendahnya status sosial ekonomi akan menyebabkan seorang penderita tidak sanggup menjangkau fasilitas kesehatan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan berkaitan dengan deteksi dini penyakit tuberkulosis, dan membeli obat-obatan sebagaimana dinyatakan oleh Yunus dkk (1992). Hal ini tentu akan menyebabkan penyakit diabetes mellitus menjadi tidak terkontrol dengan baik. Dengan demikian semakin rendah tingkat sosial ekonomi penderita diabetes mellitus maka semakin besar resiki untuk terkena penyakit tuberkulosis.
Penelitian AB Silfa tahun 2006 terhadap populasi penderita diabetes mellitus yang dirawat di Irna C Penyakit Dalam RS Dr. M. Djamil Padang didapatkan hasil bahwa dengan uji statistik Fisher’s Exact ternyata ada perbedaan proporsi antara responden yang memiliki tingkat sosial ekonomi tinggi dengan responden yang memiliki tingkat sosial ekonomi rendah terhadap kejadian tuberkulosis paru pada pasien diabetes mellitus dengan nilai p=0,011. Hal ini berarti terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat sosial ekonomi dengan kejadian tuberkulosis paru pada pasien diabetes mellitus.
6. Faktor Malnutrisi
Sebagaimana dinyatakan oleh Lakshmi & Murthy (1999) bahwa salah satu faktor penyebab yang dihubungkan dengan kejadian tuberkulosis paru pada penderita diabetes mellitus adalah faktor malnutrisi, maka pada semua kasus diabetes mellitus terdapat beberapa derajat malnutrisi akibat defek pada metabolisme.
Kondisi malnutrisi pada pasien diabetes mellitus ini menurut Boucot dkk (1952 dikutip dalam Rom & Garay, 2004), digambarkan dengan berat badan di bawah normal. Sementara De Leon dkk (2004) menggunakan nilai pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) yang kurang dari 18 kg/m2 terhadap variabel yang menggambarkan keadaan klinis malnutrisi pada pasien diabetes mellitus dengan tuberkulosis paru di Meksiko.
Pengukuran IMT ini merupakan salah satu bentuk pengukuran antropometrik yang dipakai dalam pengkajian status nutrisi secara akurat (Hartono, 2000). IMT dihitung dengan pembagian berat badan (dalam kg) oleh tinggi badan (dalam m) pangkat dua. Korelasi berat badan dengan jumlah total lemak tubuh cukup erat, kendati sebagian orang dengan lean body mass yang tinggi bisa memberikan IMT yang tinggi walaupun orang tersebut tidak gemuk.
7. Faktor lama penyakit (Duration Of Illness)
Lakshmi & Murthy (1999) menyatakan bahwa Root (1934), dalam penelitian klasiknya telah mengamati terdapatnya peningkatan insiden tuberkulosis paru dengan lamanya diabetes mellitus. Senada dengan hal tersebut, Boucot dkk (1952 dikutip dalam Rom & Garay, 2004) juga menyatakan bahwa terdapat peningkatan penyakit tuberkulosis paru pada pasien yang telah menderita diabetes mellitus lebih dari 10 tahun. Hal ini tentu merupakan akibat kelainan pada imunitas cell-mediated dan fungsi fagosit berhubungan dengan hiperglikemia, sebagaimana juga berkurangnya vaskularisasi sekunder terhadap diabetes mellitus jangka panjang sehingga individu lebih rentan diserang oleh infeksi tuberkulosis paru (Lakshmi & Murthy, 1999). Dengan demikian semakin lama seseorang menderita diabetes mellitus, maka semakin besar peluang untuk mendapatkan tuberkulosis paru.
8. Faktor kontak erat dengan penderita tuberkulosis paru
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan menjadi droplet nuclei dalam udara (Danusantoso, 2000). American Lungs Association (2005) menyatakan bahwa ketika orang-orang dengan tuberkulosis paru atau laring batuk, tertawa, bersin, bernyanyi, atau berbicara, maka kuman penyebab tuberkulosis berkemungkinan akan tersebar ke udara. Jika orang lain menghirup kuman ini, maka berkesempatan mereka akan terkena infeksi tuberkulosis. Pada umumnya dibutuhkan kontak yang berulang-ulang untuk terjadinya proses infeksi tersebut. selanjutnya American Lungs Association (2005) menganjurkan kepada orang-orang agar melakukan tes tuberkulin jika memiliki gejala-gejala tuberkulosis atau jika tinggal bersama atau dengan kata kontak erat dengan seseorang yang sedang menderita penyakit tuberkulosis.
Di Indonesia, sebagaimana di kebanyakan negara sedang berkembang lainnya, hampir semua penduduk dewasa sudah pernah mengalami infeksi oleh basil tuberkulosis pada masa mudanya, maka penyakit tuberkulosis pada orang dewasa di negara ini ditimbulkan oleh basil “tempo doeloe” yang mengalami reaktivasi. Untuk tes tuberkulin, selama tuberkulosis masih endemik di Indonesia, maka tes tuberkulin sebagai tes diagnostik menjadi kurang berarti (Danusantoso, 2000). Namun sesuai dengan pernyataan American Lungs Association (2005) bahwa jika seseorang, apalagi jika sudah menderita diabetes mellitus mempunyai kontak erat dengan penderita tuberkulosis yang infeksius, maka ia akan beresiko untuk terserang penyakit tuberkulosis paru.
Penelitian AB Silfa tahun 2006 terhadap populasi penderita diabetes mellitus yang dirawat di Irna C Penyakit Dalam RS Dr. M. Djamil Padang didapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara kontak erat pasien diabetes mellitus dengan penderita tuberkulosis paru dengan kejadian penyakit tuberkulosis paru pada pasien diabetes mellitus. Akan tetapi, walaupun tidak terdapat anggota keluarga atau orang yang tinggal serumah dengan penderita diabetes mellitus yang menderita tuberkulosis paru, masih banyak kesempatan bagi seorang pasien diabetes mellitus untuk tertular penyakit tuberkulosis paru. Hal ini disebabkan karena penyakit tuberkulosis ini sudah merupakan penyakit yang endemik di Indonesia, sehingga kontak atau penularan dapat berlangsung di mana saja ada kerumunan, di antaranya di pasar, di dalam gedung pertemuan atau gedung hiburan, di dalam kendaraan umum, dan sebagainya, dimana tuberkulosis akan tersebar dengan mudah dalam ruangan tertutup seperti halnya American Lungs Association (2005) melaporkan bahwa transmisi di dalam pesawat udara, walaupun jarang, tapi telah pernah dicatat sebelumnya.
C. Kesimpulan
Kemampuan perawat dalam mengidentifikasi faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan terjadinya tuberkulosis paru pada pasien diabetes mellitus dapat dijadikan pedoman dalam menetapkan perencanaan dan strategi dalam pencegahan berjangkitnya tuberkulosis paru pada pasien diabetes mellitus. Sehingga menjadi panduan dalam memberikan pedidikan dan penyuluhan kesehatan pada pasien diabetes mellitus dalam mewaspadai dan mengendalikan faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya tuberkulosis paru pada pasien diabetes mellitus, meliputi pencegahan infeksi tuberkulosis paru pada pasien diabetes mellitus, deteksi dini penyakit tuberkulosis paru, pemantauan yang cermat bagi pasien diabetes mellitus yang mendapatkan terapi Obat Anti Tuberkulosis (OAT), dan perbaikan kualitas hidup pasien diabetes mellitus. Dengan demikian diharapkan dapat menurunkan prevalensi penyakit tuberkulosis paru.
D. Saran
1. Meningkatkan program penyuluhan kesehatan pada pasien diabetes mellitus yang berkunjung ke RS Dr. M. Djamil Padang baik pasien rawat jalan maupun pasien rawat inap, untuk meningkatkan pengetahuan pasien diabetes mellitus dalam mencegah berjangkitnya penyakit tuberkulosis paru pada pasien tersebut.
2. Pasien diabetes mellitus dianjurkan melakukan pemeriksaan radiogram dada setiap tahun untuk deteksi dini.
3. Kepada pasien diabetes mellitus juga disarankan agar berusaha mengatur pola makan yang baik dan teratur memeriksakan diri ke unit pelayan kesehatan terdekat untuk deteksi dini tuberkulosis paru.
4. Selanjutnya bagi pasien diabetes mellitus yang telah menderita penyakit tuberkulosis paru agar menjalankan pengobatan dengan sebaik-baiknya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Achmad, Ratna Juita dan Yohanis Ngili. 2005. Lewat Riset Melawan Tuberkulosis. Catatan Peringatan Hari Tuberkulosis Internasional, 24 Maret 2005. http://www.pikiran-rakyat.com/
Aditama, Tjandra Yoga, 1990. Tuberkulosis Diagnosis, Terapi dan Masalahnya. Jakarta: Y-P IDI
Almatsier, Sunita. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama
American Lungs Asociation. March 2005. Tuberculosis. http://www.lungsa.org/
American Thoracic Society, CDC, & Infectious Diseases Society of America. 2003. Treatment of Tuberculosis. American Journal of Respiratory & Critical Care Medicine (2003;167:603–62) Recommendations & Reports June 20, 2003 / 52 (RR11); 1 – 77 http://www.cdc.gov/health/ diseases.htm
Azwar, Azrul.1999. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: Binarupa Aksara
BKKBN. 1997. Panduan pembangunan keluarga sejahtera dalam rangka penanggulangan kemiskinan. Jakarta: Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN
Braunwald, Eugene, dkk. 2001. Horrison’s Principles of Internal Medicine. Ed 15. p 2126. New York: McGrawhills Companies, inc
Carpenito, Lynda Juall. 1997. Nursing Diagnosis: Application To Clinical Practice. Philadelphia: J.B. Lippincott Company
Chan, Yusrizal. 2005. Diagnosis Tuberkulosis. Dalam Zailirin Y.Z., Oea Khairsyaf, Sabrina. Majalah Kedokteran Andalas. Vol Juni 2005, hal 28-36.
Danusantoso, Halim. 2000. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Hipokrates
De Leon, Alfredo Ponce, dkk. 2004. Tuberculosis & Diabetes mellitus in Southerm Mexico. Diabetes mellitus Care. vol 27. http://www.yahoo.co.id/
Guptan, Amrit & Ashok Shah. 2000. Tuberculosis & Diabetes mellitus: An Appraisal. Indian Journal of Tuberculosis. http://www.medind.nic.in/
Hartono, &ry. 1997. Asuhan Nutrisi Rumah sakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Lakshmi K.A. & K.J.R. Murthy. 1999. Magnitude Of The Problem. Int. J. Diab. Dev. Countries (1999), vol. 19 49 http://www.google.co.id/
Notoatmodjo, Soekidjo. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta
_____. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta
Noer, H. M. Sjaifoellah. 1999. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Price, Sylvia A & Lorraine McCarty Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC
Rao, P.V. 2005. Active Tuberculosis Should Be Treated With Insulin. Sandoz JEET. TB and Diabetes. Nizam’s Institute of Medical Sciences, Hyderabad, India. http://www.ourjeet.com./general1/diabetes.asp
Rom, Willian N. & Stuart M. Garray. 2003. Tuberculosis. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
Silfa, AB. 2006. Hubungan Tingkat Pendidikan, Pengetahuan, Tingkat Sosial Ekonomi serta Kontak Erat dengan Penderita Tuberkulosis Paru terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Mellitus yang Dirawat di Instalasi Rawat Inap C Penyakit Dalam RS DR. M. Djamil Padang. Skripsi untuk Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan pada PSIK FK-Unand Padang.
Situmeang, Taufan. 2004. Pengobatan Tuberkulosis Masih Menjadi Masalah? Penyakitnya Sudah Ada Seratus Tahun Lalu. Jakarta, Senin, 19 April, 2004 http://www.gizi.net/
Soeparman, 1990. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Taufik. 1992. Tuberkulosis di Poliklinik Paru RSUP Dr.M.Djamil Padang Dalam Sayan Wongso, Yorva Sayoeti, Yusrizal Chan, Amrin Alkamar. Naskah Lengkap Penanggulangan TB Paru pada Anak dan Dewasa. Vol Juni 1992 hal 54-66. Padang: FK-Un&
_____. 2005. Peranan Praktek Dokter Swasta dalam Pemberantasan TB Paru. Dalam Zailirin Y.Z., Oea Khairsyaf, Sabrina. Majalah Kedokteran Andalas. Vol Juni 2005, hal 37-46.
Yunus, Faisal, dkk. 1992. Pulmonologi Klinik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Zailirin Y.Z. 2005. Beberapa Faktor Penyulit Pengobatan Tuberkulosis. Dalam Zailirin Y.Z., Oea Khairsyaf, Sabrina. Majalah Kedokteran Andalas. Vol Juni 2005, hal 1-27.

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Pneumotoraks


PNEUMOTORAKS
Pneumotoraks merupakan keadaan emergensi yang disebabkan oleh akumulasi udara dalam rongga pleura, sebagai akibat dari proses penyakit atau cedera.
Penyebab:
• Spontan
Terjadi secara spontan tanpa didahului kecelakaan atau trauma. Pneumotoraks spontan dapat diklasifikasikan menjadi Pneumotoraks Spontan Primer dan Pneumotoraks Spontan Sekunder. Pneumotoraks Spontan Primer biasanya disebabkan oleh pecahnya bleb pada paru (sering terjadi pada pria muda yang tinggi kurus dan pada Marfan syndrome), sedangkan Pneumotoraks Spontan Sekunder seringkali terjadi akibat Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).
• Luka Tusuk Dada
• Barotrauma Pada Paru
Pneumotoraks dibagi menjadi Tension Pneumothorax dan non-tension pneumathorax. Tension. Pneumothorax merupakan medical emergency dimana akumulasi udara dalam rongga pleura akan bertambah setiap kali bernapas. Peningkatan tekanan intratoraks mengakibatkan bergesernya organ mediastinum secara masif ke arah berlawanan dari sisi paru yang mengalami tekanan. Non-tension pneumothorax tidak seberat Tension pnemothorax karena akumulasi udara tidak makin bertambah sehingga tekanan terhadap organ didalam rongga dada juga tidak meningkat.
Akumulasi darah dalam rongga toraks (hemotoraks) dapat menimbulkan masalah yang mengakibatkan terjadinya hemopneumotoraks.
Tanda dan Gejala. Sesak napas tiba-tiba, napas pendek, batuk kering, sianosis, dan nyeri dada, punggung dan lengan merupakan gejala utama.
Pada luka tembus dada, bunyi aliran udara terdengar pada area luka tembus. Yang selanjutnya disebut “sucking” chest wound (luka dada menghisap). Jika tidak ditangani maka hipoksia mengakibatkan kehilangan kesadaran dan koma. Selanjutnya pergeseran mediastinum ke arah berlawanan dari area cedera dapat menyebabkan penyumbatan aliran vena kava superior dan inferior yang dapat mengurangi cardiac preload dan menurunkan cardiac output. Jika ini tak ditangani, pneumotoraks makin berat dapat menyebabkan kematian dalam beberapa menit.
Peumotoraks spontan seringkali dilaporkan terjadi pada orang-orang muda dengan perawakan tinggi. Terutama pada laki-laki. Sebabnya tidak diketahui, diduga terdapatnya abnormlitas pada jaringan ikat (connective tissue). Beberapa pneumotoraks spontan disebabkan pecahnya “blebs”, semacam struktur gelembung pada permukaan paru yang pecah menyebabkan udara masuk ke dalam kavum pleura. Umumnya didahului oleh peningkatan tekanan intrapulmoner seperti: batuk keras, meniup alat-alat musik, bersin, mengejan, dan lain-lain.
Pneumotoraks juga dapat terjadi sebagai dampak prosedur medis, seperti pemasangan kateter vena sentral pada vena subklavia atau vena jugularis. Walaupun jarang terjadi, namun mengakibatkan komplikasi serius dan memerlukan penanganan yang segera. Penyebab lainnya termasuk akibat ventilasi mekanik, emfisema, dan penyakit paru lainnya (pneumonia).
Diagnosis. Suara napas menghilang melalui pemeriksaan stetoskop mengindikasikan bahwa paru tidak mengembang dalam rongga pleura. Perkusi dinding dada hipersonor. “coin test” positif .
Pneumotoraks pada trauma tumpul dada seringkali disebabkan oleh fraktur iga menusuk ke parenkim paru. Pnemotoraks dapat juga akibat deselerasi atau barotrauma pada paru tanpa berkaitan dengan patah iga. Di dalam praktek, banyak pasien dengan pneumotoraks traumatik juga mempunyai gejala perdarahan yang mengakibatkan hemopneumotoraks.
Pasien melaporkan sesak napas atau nyeri waktu inspirasi pada area fraktur iga. Pemeriksaan fisik ditemukan suara napas menurun dan perkusi pekak di atas area hemitoraks yang terkena.
Jika tanda dan gejala meragukan, maka roentgen dada dapat dilakukan, tetapi pada keadaan hipoksia berat atau tension pneumothorax maka penanggulangan kedaruratan yang lebih diutamakan.
Diagnosis banding :
o Acute Myocardial Infarction
o Emphysema
Pemeriksaan riwayat kejadian secara cermat dan roentgen dada akan membantu keakuratan diagnosis.
Pertolongan pertama
Chest wound / Sucking Chest Wound (Luka Dada Menghisap)
Luka dada terbuka dapat menyebabkan udara akan terhisap ke rongga pleura waktu inspirasi dan bila rongga dada berkontraksi waktu ekspirasi maka udara akan terdorong ke luar. Sehingga udara yang masuk melalui jalan napas normal akan berkurang akibat tidak adekuatnya ventilasi dan ekspansi paru.
Luka tembus perlu segera ditutup dengan pembalut darurat atau balutan tekan dibuat kedap udara dengan petroleum jelly atau plastik yang bersih. Pembalut plastik yang steril meupakan alat yang baik, namun plastik pembungkus kotak rokok (selofan) dapat juga digunakan. Pita selofan dibentuk segitiga salah satu ujungnya dibiarkan terbuka untuk memungkinkan udara yang terhisap dapat dikeluarkan. Hal ini untuk mencegah terjadinya “Tension Pneumotoraks”. Celah kecil dibiarkan terbuka sebagai katup agar udara dapat keluar dan paru-paru akan mengembang.
Setiap pasien dengan luka tembus dada harus diawasi sepanjang waktu terhadap tension pneumothorax atau kegawatan sistem pernapasan yang mengancam jiwa. Pasien tidak boleh ditinggalkan sendirian. Hemotoraks atau pneumotoraks diobati dengan selang dada yang dihubungkan dengan WSD atau bila perlu intervensi bedah untuk memperbaiki kerusakan struktur dinding dada.
Blast injury or tension
Jika udara masuk dalam rongga pleura disebabkan oleh robekan jaringan paru (pada kasus blast injury atau tension pneumothorax), perlu penangan segera. Sebuah tusukan jarum halus dapat dilakukan untuk mengurangi tekanan agar paru dapat mengembang kembali.
Perawatan Pre-hospital
Beberapa paramedis mampu melakukan needle thoracocentesis untuk mengurangi tekanan intrapleura. Jika dikehendaki intubasi dapat segera dilakukan jika keadaan pasien makin memburuk. Perawatan medis lebih lanjut dan evakuasi sangat dianjurkan segera dilakukan. Pneumotoraks yang belum ditangani merupakan kontraindikasi absolut evakuasi atau ditranspor melalui udara.
Penaganan Klinik. Pneumotoraks kecil tanpa pengobatan hanya dengan observasi melalui rontgen dada ulangan, tetapi seringkali pasien diinapkan dengan pemberian oksigen sampai adanya resolusi dari pneumotoraks.Pneumotoraks luas memerlukan pemasangan chest tube. Pada kasus luka tusuk diperlukan drainase selang dada. Termasuk dukungan ventilasi mekanik.
Pneumotoraks berulang memerlukan tindakan pencegahan lebih lanjut dengan pleurodesis. Jika pneumotorakas disebabkan oleh bullae maka dilakukan bullectomy. Pleurodesis Kimia adalah tindakan menyuntikkan bahan kimia iritan untuk merangsang reaksi inflamasi, yang mengakibatkan terjadinya adesi paru dengan pleura parietal. Bahan yang digunakan meliputi : talk, darah, tetracycline dan bleomycin. Pleurodesis mekanik tidak menggunakan bahan kimia. Ahli bedah mengikis dinding dada (pleura parietal) sehingga paru akan melengket pada didinding dada dengan jaringan parut.
Tension pneumothorax
Mekanisme terjadinya tension pneumothorax sama dengan kejadian pneumotoraks umumnya. Namun pada tension pneumothorax, udara secara terus-menerus mengalir dari parenkim paru yang cedera meningkatkan tekanan di dalam rongga hemitoraks yang terkena.
Pasien mengalami distress pernapasan. Suara napas menghilang, dan hemitorak yang terkena hipersonor pada perkusi. Trakea mengalami deviasi ke sisi yang berlawanan dengan injury. Organ mediastinum bergeser kea rah berlawanan dengan sisi yang sakit. Ini mengakibatkan penurunan Venous Return ke jantung. Pasien menunjukkan tanda-tanda ketidakstabilan hemodinamik, seperti: hipotensi, yang dengan cepat dapat berkembang kepada kolaps kardiovaskuler secara keseluruhan.
Penanganan segera terhadap kondisi yang mengancam kehidupan meliputi dekompresi pada hemitoraks yang sakit dengan menggunakan needle thoracostomy (ukuran 14 – 16 G) ditusukkan pada ruang interkostal kedua sejajar dengan midclavicular line. Selanjutnya dapat dipasang tube thoracostomy diiringi dengan control nyeri dan pulmonary toilet.
HEMOTORAKS
Hemotoraks (atau hemotoraks) adalah suatu keadaan yang diakibatkan oleh akumulasi darah dalam rongga pleura. Biasanya disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam pada dada, yang mengakibatkan robeknya membran serosa pada dinding dada bagian dalam atau selaput pembungkus paru. Robekan ini akan mengaikibatkan darah mengalir ke dalam rongga pleura, yang akan menyebabkan penekanan pada paru.
Kehilangan darah dapat terjadi secara masif, setiap sisi toraks bisa terisi oleh 30% – 40% dari volume darah seseorang. Jika tidak ditanggulangi, kondisi ini bisa berkembang menjadi keadaan dimana akumulasi darah akan menekan mediastinum dan trakea, mengurangi jumlah ventricles diastolic filling dan deviasi trakea ke arah sisi yang sehat.
Tanda dan Gejala
• Tachypnea
• Dyspnea.
• Cyanosis.
• Decreased or absent breath sounds on affected side.
• Tracheal deviation.
• Dull resonance on percussion.
• Unequal chest rise.
• Tachycardia.
• Hypotension
• Pale, cool, clammy skin.
• Possibly subcutaneous air.
• Narrowing pulse pressure.
Penatalaksanaan. Hemotoraks ditangani dengan mengatasi sumber perdarahan dan mengalirkan darah keluar dari rongga toraks. Kontrol nyeri dan pulmonary toilet.
Hemotoraks dievakuasi dengan memasang drainase menggunakan selang dada (chest tube), prosedur ini dikenal dengan pemasangan selang torakostomi (tube thoracostomy). Selang dada di pantau secara ketat karena indikasi pembedahan didasarkan pada drainase selang dada dari permulaan dan akumulasi setiap jamnya.
Selang dada disambungkan ke system penampung (mis. Pleur-evac) yang dirangkaikan dengan suction pada tekanan kira-kira -20 cm H2O. Setelah selang dada dilepaskan dari suction kemudian di sambungkan dengan segel air (Water Seal Drainage (WSD)). Jika paru telah mengembang selang dada dapat di cabut.
Biasanya pasien dengan cepat akan pulih setelah pemasangan drainase ini. Namun jika penyebabnya adalah ruptur aorta akibat trauma berkekuatan tinggi, maka diperlukan intervensi bedah oleh ahli bedah toraks.
Hemotoraks yang luas dengan bekuan darah memerlukan tindakan operasi untuk evakuasi agar paru dapat mengembang secara penuh dan mencegah komplikasi seperti fibrotoraks dan empiema. Pendekatan dengan Torakoskopi juga cukup berhasil dalam penaganan masalah ini.
MASALAH KEPERAWATAN PADA PNEUMOTORAKS/HEMOTORAKS
Pola napas tak efektif b/d : Gangguan ekspansi paru sekunder terhadap: akumulasi cairan(hidrotoraks/hemotoraks) / udara(pneumotoraks) dalam rongga pleura, luka dada menghisap (sucking chest wound), flail chest
Kerusakan pertukaran gas b/d :
- Perubahan membran alveolar-kapiler, edema pulmonal, emboli paru
- Hipoventilasi, retensi CO2
Penurunan curah jantung b/d penurunan aliran darah balik vena kava ke jantung (penurunan preload)
Kekurangan volume cairan b/d kehilangan darah/cairan masif (hemotoraks)
Nyeri (akut) b/d cedera parenkim paru, fraktur iga
Ansietas/ketakutan b/d krisis situasional
Daftar Bacaan :
Boswick, JA. 1992. Perawatan Gawat Darurat. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC
Carpenito, Lynda Juall. 1997. Nursing Diagnosis: Application To Clinical Practice. Philadelphia: J.B. Lippincott Company
Danusantoso, Halim. 2000. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Hipokrates
Hudak & Gallo. 1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik. Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC
Price, Sylvia A dan Lorraine McCarty Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC
Michael AJ Sawyer.2008 Blunt Chest Trauma. Diakses dari http://www.emedicine.com
Wikipedia. 2008. Pneumothorax. diakses dari http://en.wikipedia.org
Wikipedia. 2008. Hemothorax. Diakses dari http://en.wikipedia.org
Yunus, Faisal, dkk. 1992. Pulmonologi Klinik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Pentingnya Pendidikan dan Pelatihan bagi Seluruh Staf Rumah Sakit

Pendidikan dan Pelatihan

RS menyelenggarakan pendidikan & pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien. RS mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan in-service training.
RS melaksanakan program pengembangan dan pelatihan staf secara konsisten. RS melakukan workshop keselamatan pasien secara in-house training dan melibatkan Tim KKPRS atau mengirim 2-3 orang staf untuk mengikuti workshop keselamatan pasien yang diselenggarakan KKPRS-PERSI.
RS mempunyai program orientasi yang memuat topik keselamatan pasien bagi staf yang baru masuk/pindahan/mahasiswa. Staf yang bertugas di unit khusus (ICU, ICCU, IGD, HD, NICU, PICU, OK) harusmendapat pelatihan keselamatan pasien.
 Penutup
Keamanan adalah prinsip yang paling fundamental dalam pemberian pelayanan kesehatan maupun keperawatan, dan sekaligus aspek yang paling kritis dari manajemen kualitas.  Keselamatan pasien (patient safety) adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman, mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. Sistem tersebut meliputi pengenalan risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden, tindak lanjut dan implementasi solusi untuk meminimalkan risiko.
Sebenarnya petugas kesehatan tidak bermaksud menyebabkan cedera pasien, tetapi fakta tampak bahwa di bumi ini setiap hari ada pasien yang mengalami KTD (Kejadian Tidak Diharapkan). KTD, baik yang tidak dapat dicegah (non error) maupun yang dapat dicegah (error), berasal dari berbagai proses asuhan pasien.
Mengingat masalah keselamatan pasien merupakan masalah yang penting dalam sebuah rumah sakit, maka diperlukan standar keselamatan pasien rumah sakit yang dapat digunakan sebagai acuan bagi rumah sakit di Indonesia. Standar keselamatan pasien rumah sakit yang saat ini digunakan mengacu pada “Hospital Patient Safety Standards” yang dikeluarkan oleh Join Commision on Accreditation of Health Organization di Illinois pada tahun 2002 yang kemudian disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia. Pada akhirnya untuk mewujudkan keselamatan pasien butuh upaya dan kerjasama berbagai pihak dari seluruh komponen pelayanan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 2008, Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety), 2 edn, Bakti Husada, Jakarta.
_____. 2008, Pedoman Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien (IKP) (Patient Safety Incident Report), 2 edn, Bakti Husada, Jakarta.
IOM, 2000. To Err Is Human: Building a Safer Health System http://www.nap.edu/catalog/9728.html
___, 2004. Patient Safety: Achieving a New Standard for Care http://www.nap.edu/catalog/10863.html
Kemkes RI. 2010. Pedoman Teknis Fasilitas Rumah Sakit Kelas B. Pusat Sarana, Prasarana dan Peralatan Kesehatan, Sekretariat Jenderal, KEMKES-RI
Manojlovich, M, et al 2007, ‘Healthy Work Environment, Nurse-Phycisian Communication, and Patient’s Outcomes’, American Journal of Critical Care vol. 16, pp. 536-43.
Millar, J, et al 2004, ‘Selecting Indicators for Patient Safety at the Health Systems Level in OECD Countries’. DELSA/ELSA/WD/HTP, Paris, OECD Health Technical Paper.
Pallas, LOB, et al 2005, Nurse-Physician Relationship Solutions and Recomendation for Change, Nursing Health Services Research Unit, Ontario. database.
Parwijanto, H 2008, ‘Kajian Komunikasi Dalam Organisasi’, in Perilaku Organisasi. uns.ac.id, Jakarta, 10 Desember 2009.
Robbins, SP 2003, Perilaku Organisasi, 10 edn, PT. Indeks Gramedia, Jakarta.
Vazirani, S, et al 2005, ‘Effect of A Multidicpinary Intervention on Communication and Collaboratoriumoration’, American Journal of Critical Care, Proquest Science Journal, vol. 14, p. 71.
Wakefield, JG & Jorm, CM 2009, ‘Patient Safety – a balanced measurements framework’, Australian Health Review, vol. 33, no. 3.
Yahya, A. 2009 Integrasikan Kegiatan Manajemen Risiko. Workshop Keselamatan Pasien&Manajemen Risiko Klinis. PERSI: KKP-RS

Alur Sirkulasi Pasien di Rumah Sakit


Alur Sirkulasi Pasien dalam Rumah Sakit adalah sebagai berikut:
  1. Pasien masuk rumah sakit melakukan pendaftaran/ admisi pada instalasi rawat jalan (poliklinik) atau pada instalasi gawat darurat apabila pasien dalam kondisi gawat darurat yang membutuhkan pertolongan medis segera/ cito.
  2. Pasien yang mendaftar pada instalasi rawat jalan akan diberikan pelayanan medis pada klinik-klinik tertentu sesuai dengan penyakit/ kondisi pasien.
  • Pasien dengan diagnosa penyakit ringan setelah diberikan pelayanan medis selanjutnya dapat langsung pulang.
  • Pasien dengan kondisi harus didiagnosa lebih mendetail akan dirujuk ke instalasi radiologi dan atau laboratorium. Setelah mendapatkan hasil foto radiologi dan atau laboratorium, pasien mendaftar kembali ke instalasi rawat jalan sebagai pasien lama.
  • Selanjutnya apabila harus dirawat inap akan dikirim ke ruang rawat inap. Selanjutnya akan didiagnosa lebih mendetail ke instalasi radiologi dan atau laboratorium. Kemudian jika pasien harus ditindak bedah, maka pasien akan dijadwalkan ke ruang bedah. Pasca bedah, untuk pasien yang kondisinya belum stabil akan dikirim ke ruang Perawatan Intensif, pasien yang kondisinya stabil akan dikirim ke ruang rawat inap. Selanjutnya pasien meninggal akan dikirim ke instalasi pemulasaraan jenazah. Setelah pasien sehat dapat pulang
  • Pasien kebidanan dan penyakit kandungan tingkat lanjut akan dirujuk ke instalasi kebidanan dan penyakit kandungan. Apabila harus ditindak bedah, maka pasien akan dikirim ke ruang bedah. Pasca bedah, untuk pasien yang kondisinya belum stabil akan dikirim ke ruang Perawatan Intensif, pasien yang kondisinya stabil akan dikirim ke ruang rawat inap kebidanan. Selanjutnya pasien meninggal akan dikirim ke instalasi pemulasaraan jenazah. Setelah pasien sehat dapat pulang.
  1. Pasien melalui instalasi gawat darurat akan diberikan pelayanan medis sesuai dengan kondisi kegawat daruratan pasien.
  • Pasien dengan tingkat kegawatdaruratan ringan setelah diberikan pelayanan medis dapat langsung pulang.
  • Pasien dengan kondisi harus didiagnosa lebih mendetail akan dirujuk ke instalasi radiologi dan atau laboratorium. Selanjutnya apabila harus ditindak bedah, maka pasien akan dikirim ke ruang bedah. Pasca bedah, untuk pasien yang kondisinya belum stabil akan dikirim ke ruang Perawatan Intensif, pasien yang kondisinya stabil akan dikirim ke ruang rawat inap. Selanjutnya pasien meninggal akan dikirim ke instalasi pemulasaraan jenazah, pasien sehat dapat pulang.

Pendekatan Komprehensif dalam Pengkajian Keselamatan Pasien


Pengkajian pada keselamatan pasien secara garis besar dibagi kepada struktur, lingkungan, peralatan dan teknologi, proses, orang dan budaya.
1. Struktur
• Kebijakan dan prosedur organisasi: Cek telah terdapat kebijakan dan prosedur tetap yang telah dibuat dengan mempertimbangkan keselamatan pasien.
• Fasilitas: Apakah fasilitas dibangun untuk meningkatkan keamanan ?
• Persediaan: Apakah hal-hal yang dibutuhkan sudah tersedia seperti persediaan di ruang emergency, ruang ICU
2. Lingkungan
• Pencahayaan dan permukaan: berkontribusi terhadap pasien jatuh atau cedera
• Temperature: pengkondisian temperature dibutuhkan dibeberapa ruangan seperti ruang operasi, hal ini diperlukan misalnya pada saat operasi bedah tulang suhu ruangan akan berpengaruh terhadap cepatnya pengerasan dari semen
• Kebisingan: lingkungan yang bising dapat menjadi distraksi saat perawat sedang memberikan pengobatan dan tidak terdengarnya sinyal alarm dari perubahan kondisi pasien
• Ergonomic dan fungsional: ergonomic berpengaruh terhadap penampilan seperti teknik memindahkan pasien, jika terjadi kesalahan dapat menimbulkan pasien jatuh atau cedera. Selain itu penempatan material di ruangan apakah sudah disesuaikan dengan fungsinya seperti pengaturan tempat tidur, jenis, penempatan alat sudah mencerminkan keselamatan pasien.
3. Peralatan dan teknologi
• Fungsional: perawat harus mengidentifikasi penggunaan alat dan desain dari alat. Perkembangan kecanggihan alat sangat cepat sehingga diperlukan pelatihan untuk mengoperasikan alat secara tepat dan benar.
• Keamanan: Alat-alat yang digunakan juga harus didesain penggunaannya dapat meningkatkan keselamatan pasien.
4. Proses
• Desain kerja: Desain proses yang tidak dilandasi riset yang adekuat dan kurangnya penjelasan dapat berdampak terhadap tidak konsisten perlakuan pada setiap orang hal ini akan berdampak terhadap kesalahan. Untuk mencegah hal tersebut harus dilakukan research based practice yang diimplementasikan.
• Karakteristik risiko tinggi: melakukan tindakan keperawatan yang terus-menerus saat praktek akan menimbulkan kelemahan, dan penurunan daya ingat hal ini dapat menjadi risiko tinggi terjadinya kesalahan atau lupa oleh karena itu perlu dibuat suatu system pengingat untuk mengurangi kesalahan
• Waktu: waktu sangat berdampak pada keselamatan pasien hal ini lebih mudah tergambar ada pasien yang memerlukan resusitasi, yang dilanjutkan oleh beberapa tindakan seperti pemberian obat dan cairan, intubasi dan defibrilasi dan pada pasien-pasien emergency oleh karena itu pada saat-saat tertentu waktu dapat menentukan apakah pasien selamat atau tidak.
• Perubahan jadual dinas perawat juga berdampak terhadap keselamatan pasien karena perawat sering tidak siap untuk melakukan aktivitas secara baik dan menyeluruh.
• Waktu juga sangat berpengaruh pada saat pasien harus dilakukan tindakan diagnostic atau ketepatan pengaturan pemberian obat seperti pada pemberian antibiotic atau tromblolitik, keterlambatan akan mempengaruhi terhadapap diagnosis dan pengobatan.
• Efisiensi: keterlambatan diagnosis atau pengobatan akan memperpanjang waktu perawatan tentunya akan meningkatkan pembiayaan yang harus di tanggung oleh pasien.
5. Orang
• Sikap dan motivasi: sikap dan motivasi sangat berdampak kepada kinerja seseorang. Sikap dan motivasi yang negative akan menimbulkan kesalahan-kesalahan.
• Kesehatan fisik: kelelahan, sakit dan kurang tidur akan berdampak kepada kinerja dengan menurunnya kewaspadaan dan waktu bereaksi seseorang.
• Kesehatan mental dan emosional: hal ini berpengaruh terhadap perhatian akan kebutuhan dan masalah pasien. tanpa perhatian yang penuh akan terjadi kesalahan – kesalahan dalam bertindak.
• Faktor interaksi manusia dengan teknologi dan lingkungan: perawat memerlukan pendidikan atau pelatihan saat dihadapkan kepada penggunaan alat-alat kesehatan dengan teknologi baru dan perawatan penyakit-penyakit yang sebelumnya belum tren seperti perawatan flu babi (swine flu).
• Faktor kognitif, komunikasi dan interpretasi: kognitif sangat berpengaruh terhadap pemahaman kenapa terjadinya kesalahan (error). Kognitif seseorang sangat berpengaruh terhadap bagaimana cara membuat keputusan, pemecahan masalah baru mengkomunikasikan hal-hal yang baru.
6. Budaya
• Faktor budaya sangat bepengaruh besar terhadap pemahaman kesalahan dan keselamatan pasien.
• Pilosofi tentang keamanan: keselamatan pasien tergantung kepada pilosofi dan nilai yang dibuat oleh para pimpinanan pelayanan kesehatan
• Jalur komunikasi: jalur komunikasi perlu dibuat sehingga ketika terjadi kesalahan dapat segera terlaporkan kepada pimpinan (siapa yang berhak melapor dan siapa yang menerima laporan).
• Budaya melaporkan, terkadang untuk melaporkan suatu kesalahan mendapat hambatan karena terbentuknya budaya blaming. Budaya menyalahkan (Blaming) merupakan phenomena yang universal. Budaya tersebut harus dikikis dengan membuat protap jalur komunikasi yang jelas.
• Staff-kelebihan beban kerja, jam dan kebijakan personal. Faktor lainnya yang penting adalah system kepemimpinan dan budaya dalam merencanakan staf, membuat kebijakan dan mengantur personal termasuk jam kerja, beban kerja, manajemen kelelahan, stress dan sakit

Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien, Analisis dan Solusi


Pelaporan insiden adalah suatu sistem untuk mendokumentasikan laporan insiden keselamatan pasien, analisis dan solusi untuk pembelajaran. Sistem pelaporan insiden dilakukan secara internal di rumah sakit dan eksternal kepada Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) sampai terbentuknya Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Dalam Pasal 17 permenkes no 1691 tahun 2011 ayat (1) menyatakan “Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit yang telah ada dan dibentuk oleh Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) masih tetap melaksanakan tugas sepanjang Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit belum terbentuk”
Laporan Insiden keselamatan pasien Internal adalah pelaporan secara tertulis setiap kondisi potensial cedera dan insiden yang menimpa pasien, keluarga pengunjung, maupun karyawan yang terjadi di rumah sakit. Laporan insiden keselamatan pasien eksternal KKP-RS. Pelaporan secara anonim dan tertulis ke KKP-RS setiap Kondisi Potensial cedera dan Insiden Keselamatan Pasien yang terjadi pada pasien, dan telah dilakukan analisa penyebab, rekomendasi dan solusinya.
Pelaporan insiden bertujuan untuk menurunkan insiden dan mengoreksi sistem dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien dan tidak untuk menyalahkan orang (non blaming). Setiap insiden harus dilaporkan secara internal kepada TKPRS dalam waktu paling lambat 2×24 jam sesuai format laporan.
TKPRS melakukan analisis dan memberikan rekomendasi serta solusi atas insiden yang dilaporkan dan melaporkan hasil kegiatannya kepada kepala rumah sakit. Rumah sakit harus melaporkan insiden, analisis, rekomendasi dan solusi Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) secara tertulis kepada Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit sesuai format laporan:
-          Akses Website KKP-RS: http://www.inapatsafety-persi.or.id
-          Klik Banner Laporan Insiden Rumah Sakit di sebelah kanan atas.
-          Setelah tampil terdapat 2 isian yang perlu diperhatikan yaitu :
-          Bagi Rumah Sakit yang telah mempunyai kode rumah sakit untuk melanjutkan ke form laporan Insiden keselamatan pasien KKP-RS
-          Bagi Rumah sakit yang belum mempunyai kode rumah sakit diharapkan mengisi Form data isian RS  untuk mendapatkan kode rumah sakit yang dapat digunakan untuk melanjutkan ke form Laporan Insiden, KKP-RS.
-          Apabila masih kurang jelas silahkan hubungi :
SekretariaT KKPRS PERSI d/a Kantor PERSI : Jl. Boulevard Artha Gading Blok A-7 A No. 28, Kelapa Gading – Jakarta Utara 14240 Telp : (021) 45845303/304 Jakarta.
Sistem pelaporan insiden kepada Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit harus dijamin keamanannya, bersifat rahasia, anonym (tanpa identitas), tidak mudah diakses oleh yang tidak berhak. Pelaporan insiden kepada Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit mencakup KTD, KNC, dan KTC, dilakukan setelah analisis dan mendapatkan rekomendasi dan solusi dari TKPRS.
Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit melakukan pengkajian dan memberikan umpan balik (feedback) dan solusi atas laporan yang sampaikan oleh rumah sakit.
Empat Prinsip Penting Pelaporan Insiden:
  1. Fungsi utama pelaporan Insiden adalah untuk meningkatkan Keselamatan Pasien melalui pembelajaran dari kegagalan/ kesalahan.
  2. Pelaporan Insiden harus aman. Staf tidak boleh dihukum karena melapor
  3. Pelaporan Insiden hanya akan bermanfaat kalau menghasilkan respons yang konstruktif. Minimal memberi umpan balik ttg data KTD & analisisnya. Idealnya, juga menghasilkan rekomendasi utk perubahan proses/SOP dan sistem.
Analisis yang baik & proses pembelajaran yang berharga memerlukan keahlian/keterampilan. Tim KPRS perlu menyebarkan informasi, rekomendasi perubahan, pengembangan solusi.
Karakteristik laporan:
  1. Bersifat tidak menghukum: Pelapor bebas dari rasa takut dan pembalasan dendam atau hukuman sebagai akibat laporannya
  2. Rahasia: Identitas pasien, pelapor dan institusi disembunyikan
  3. Independen: sistem pelaporan yang independen bagi pelapor dan organisasi dari hukuman.
  4. Expert analysis: laporan di evaluasi oleh ahli yang menguasai masalah klinis dan telah terlatih untuk mengenal penyebab system yang utama.
  5.  Tepat waktu: Laporan dianalisa segera dan rekomendasinya didesiminasikan secepatnya, khususnya bila terjadi bahaya serius.
  6. Orientasi sistem: Rekomendasi lebih berfokus kepada perbaikan dalam system, proses, atau produk daripada terhadap individu
  7. Responsif: Lembaga yang menerima laporan merupakan lembaga yang punya kapasitas memberikan rekomendasi.