Sunday, December 29, 2013

Hati-hati Bila Anak Terlalu Diam, Kenali Bahaya Autis Pada Anak

Jangan Keburu Senang Bila Anak Tenang

Jika boleh memilih, pasti tak banyak orang tua yang ingin punya anak rewel. Bocah berpembawaan anteng (tenang) konon lebih gampang diatur ketimbang yang ceriwis.
Namun, kalau kelewat tenang, waspadalah! Bisa jadi itu karena ada gangguan pendengaran yang membuatnya tidak ngeh terhadap dunia sekitar.
Ny. Sum (23 tahun) baru saja pulang dari Puskesmas. Dia cemas bukan main, karena Andi, anak kesayangannya yang baru berusia 15 bulan, ternyata harus dibawa ke dokter spesialis THT (Telinga, Hidung, Tenggorokan). Oleh dokter di Puskesmas, Andi diduga menderita gangguan pendengaran Ny. Sum mulanya tak percaya. Namun, ketika mengingat kembali gejala-gejala mencurigakan yang terjadi beberapa bulan terakhir, ia jadi mengerti.
Ia ingat, sejak bayi, Andi tergolong anak yang tenang, bahkan terlalu cool. Bila sedang tidur atau disusui, perhatiannya tidak pernah terusik pada kejadian di dekatnya. Bahkan, sendok atau piring jatuh disampingnya tidak lantas membuat Andi terkejut. Ketika berusia satu tahun, Ny. Sum makin yakin, ada sesuatu yang kurang beres pada anaknyan, sebab Anto, anak tetangganya yang seusia dengan Andi sudah dapat berkata-kata, paling tidak mengucapkan mama, papa, mimi. Tapi Andi belum dapat mengucapkan satu kata pun dengan jelas. memang pada saat kehamilan, ia sempat minum berbagai macam ramuan, jamu peluntur dan berbagai macam obat untuk melancarkan menstruasi. Dia dan suaminya masih belum ingin punya abak, sebelum kondisi keuangan keluarga mantap.
"Kini kecurigaan berbulan-bulan itu menjadi kenyataan,"bisik Ny. Sum lirih
Kurang akustik

Organ pendengaran merupakan salah satu modal vital. Manusia sebagai makhluk sosial dapat hidup, berkembang, belajar, serta menikmati kehidupan secara utuh, salah satunya karena memiliki kemampuan berbicara.

Nah, gangguan perkembangan indera pendengaran pada bayi dan anak jelas akan mempengaruhi kemampuan mereka berbicara. Gangguan itu dapat terjadi dalam berbagai tingkat, mulai gangguan ringan, sedang, berat, sampai sangat berat.

Proses mendengar sendiri merupakan rangkain kejadian yang diawali dengan adanya suara atau bunyi yang ditangkap oleh daun telinga. Bunyi itu lalu diteruskan melalui liang telinga, sehingga dapat menggetarkan gendang telinga. Setelah menggetarkan gendang telinga, energi akustik akan diperbesar oleh rangkaian tulang pendengaran untuk kemudian diteruskan ke telinga dalam.

Di telinga dalam, energi akustik diubah menjadi impuls listrik, sehingga dapat diteruskan ke saraf pendengaran. Oleh saraf pendengaran, impuls itu dikirim ke pusat persepsi pendengaran di otak, dalam bentuk "jadi". Maksudnya, sebagai suara atau bunyi yang sesuai dengan frekuensi, intensitas, dan harmoni nada yang saat itu didengar. Jika ada organ pendengaran yang terganggu, rangkaian yang telah tertata rapi itu tentu akan berantakan.

Ribetnya, kerusakan pada organ pendengaran tidak hanya bisa menimpa orang dewasa, tak pandang pria atau wanita, serta tak mengenal usia. Penyakit ini bisa muncul di berbagai fase kehidupan, mulai dari bayi dalam kandungan, ketika proses kelahiran, saat bayi baru lahir, di masa pertumbuhan, masa kanak-kanak, hingga dewasa, bahkan lanjut usia.

Yang suka telat diantisipasi biasanya gangguan pendengaran pada bayi atau anak. Bayi dan anak yang menderita kerusakan organ pendengaran tidak bisa mendengar suara dan bunyi-bunyian di sekitarnya, lantaran lemahnya informasi akustik atau sama sekali tidak ada informasi akustik yang sampai di pusat persepsi pendengaran. Kalau dibiarkan terus, bisa melemahkan fungsi sel-sel pendengaran di telinga dalam, saraf pendengaran, dan pusat persepsi pen-dengaran.
Bayi pun tidak dapat mendengar dengan baik. Jika masih dibiarkan juga, bayi atau anak tidak akan memiliki kemampuan berbicara atau tuli bisu (deaf-mute).

Tak terganggu petir

Banyak faktor yang memungkinkan bayi dan anak mengalami gangguan pendengaran. Mari kita mulai dari fase paling dini, yakni saat bayi berada dalam kandungan.

Penyebab gangguan pendengaran pada bayi dalam kandungan bisa karena faktor genetik (keturunan) dan non-genetik. Gangguan yang disebabkan faktor genetik masih jarang ditemukan, biasanya dirunut berdasarkan riwayat gangguan pendengaran menurut garis keturunan.
Sebaliknya, gangguan akibat faktor non-genetik sering dijumpai. Misalnya, karena upaya pengguguran kandungan, defisiensi zat gizi pada masa kehamilan, pemakaian obat yang bersifat meracuni fungsi pendengaran, seperti kina, streptomisin, garamisin, neomisin, salisilat, dan lain-lain. Bisa juga karena infeksi atau virus, seperti infeksi toksoplasma, rubella, herpes, sifilis, campak, serta parotitis yang terjadi pada saat kehamilan.
Pada fase pertumbuhan bayi dan anak, penyebab gangguan pendengaran mungkin saja datang dari beberapa infeksi berat yang disebabkan bakteri dan virus, seperti meningitis dan ensefalitis. Selain itu, masih ada beberapa penyakit infeksi saluran napas atas yang sering diderita bayi dan anak, yakni infeksi dinding tenggorok dan amandel, infeksi hidung, dan infeksi sinus di sekitar hidung. Semuanya berpotensi menimbulkan infeksi telinga, yang bisa berujung pada gangguan pendengaran.

Penyebab lain yang dapat menyerang organ pendengaran bayi dan anak adalah kotoran telinga nan padat, benda asing di liang telinga seperti manik-manik, kacang, dan lain-lain. Juga alergi hidung yang tidak ditangani dengan baik.

Lalu, bagaimana cara menangkap gejala gangguan pendengaran, agar penanggulangannya tak terlambat?

Ciri-ciri bayi atau anak yang menderita gangguan pendengaran, saat tidur tidak pernah terbangun, meskipun ada suara atau bunyi keras atau gaduh di sekitarnya. Bahkan bunyi petir sekalipun tidak membuatnya kaget. Gejala ini patut diwaspadai, karena bayi yang baru lahir lazimnya terkejut (mengedipkan mata), menarik kedua tangan dan tungkainya bila ada orang bertepuk tangan pada jarak 30 - 50 cm di samping telinganya.
Pada umur 3 - 5 bulan, orangtua dapat melakukan pemeriksaan sederhana dengan cara sebagai berikut: saat bayi terjaga, ibu menggendongnya, sedangkan bapak atau anggota keluarga lain bertepuk tangan atau membunyikan sendok atau piring pada jarak 2 m di belakang si bayi, sehingga tidak terlihat. Ibu memperhatikan respons bayinya, apakah ia terkejut atau adakah gerakan mata atau upaya menggerakkan kepala mencari sumber bunyi? Bila bayi merespons (terkejut dan menggerakkan kepala mencari sumber bunyi), berarti dia dapat mendengar. Namun, bila tidak, upayakan untuk memeriksakannya ke dokter.
Cara lain, perhatikan perkembangan wicara bayi. Pada umumnya, bayi berusia 4 - 6 bulan su-dah mulai dapat mengoceh bubling, terutama di pagi hari. Ketika memasuki usia 7 - 10 bulan, mulai dapat mengatakan dua suku kata, seperti da-da atau ta-ta. Pada saat bayi berusia 9 - 13 bulan, ia sudah dapat mengucapkan mama atau papa. Nah, bila sampai usia tersebut bayi Anda masih belum menunjukkan kemampuan berbicara yang berarti, tidak ada salahnya membawanya ke dokter.
Penanganan terpadu

Ketika bayi mulai memasuki usia kanak-kanak, orangtua bisa mengenali kemungkinan adanya gangguan pendengaran, dengan memantau perkembangan kemampuan berbicara anak mereka.

Anak yang menderita gangguan pendengaran, biasanya menunjukkan keterlambatan perkembangan berbicara, kesalahan dalam pelafalan, atau pengucapan kata bila dibandingkan dengan rata-rata anak seusianya. Kondisi itu menandakan kemungkinan adanya gangguan pendengaran yang tidak terlalu berat.

Namun, bila anak sama sekali belum dapat berbicara sesuai usianya, kemungkinan ia menderita tuli berat pada kedua telinga atau mengalami kelainan lain yang perlu diperhatikan. Misalnya, afasia motorik, cereberal palsy atau kecacatan otak lain. Karena menyangkut faktor-faktor yang cukup kompleks, penanganan penyakit gangguan pendengaran ini sebaiknya tidak dilakukan sembarangan.

Penanganan bayi dan anak yang pendegarannya terganggu mesti dilakukan dengan memperhatikan jenis, tingkat keparahan, serta usia pasien. Diperlukan kerja sama antara dokter spesialis THT, dokter spesialis anak, psikolog serta ahli terapi wicara untuk menentukan kelainan apa yang sebenarnya diderita. Pemeriksaan itu akan menentukan apakah bayi atau anak hanya mengalami gangguan pendengaran, kelainan otak, atau malah gabungan dari keduanya.
Setelah diketahui hasil pemeriksaan, baru dapat ditentukan program rehabilitasi atau habilitasi yang diperlukan. Bila ada gangguan pendengaran berat, penggunaan alat bantu dengar yang tepat dan sesuai sangat dianjurkan untuk merangsang saraf pendengaran dan pusat persepsi pendengaran. Upaya stimulasi pendengaran bayi dengan melatihnya mengucapkan kata-kata sederhana, seraya membelai rambut dan tubuhnya, perlu dilakukan untuk membantu perkembangan saraf pendengaran dan psikologi anak.
Pada anak dengan gangguan pendengaran berat yang telah mencapai usia sekolah, Sekolah Luar Biasa B merupakan sarana yang pantas dipertimbangkan, agar pengembangan diri anak tak terganggu. Upaya deteksi dini dan penanganan memadai, melalui rehabilitasi dan habilitasi pendengaran, memang masih menjadi jalan terbaik dalam menurunkan tingkat kecacatan pen-dengaran. Upaya ini akan berhasil bila ikut melibatkan peran aktif dari orangtua, terutama ibu.
Peran ibu amat sentral, karena ibulah yang selalu berada dekat bayi dan anaknya, sehingga dia lebih cepat mengetahui kelainan perkembangan sang anak. Pengamatan ibu terhadap perkembangan pendengaran dan kemampuan wicara bayi atau anaknya sering berhasil mendeteksi gangguan pendengaran pada tahap paling dini. Pengamatan yang paling gampang adalah membandingkan perkembangan kemampuan wicara bayi dengan bayi lain yang seusia. Bila hasil pengamatan tadi menunjukkan kecurigaan adanya gangguan pendengaran, segera periksakan bayi atau anak ke rumah sakit.
Untuk mencegah bayi-bayi terganggu pendengarannya, ibu memang harus lebih peka terhadap perilaku anaknya yang tidak biasa.

Jumat, 26 Desember 2008

Tinjauan Remunerasi Jasa Medik/Pelayanan di RS(U)D

Pendahuluan
Dewasa ini masalah krisis global yang melanda seluruh belahan dunia membuat para pengelola bisnis harus menghitung ulang anggaran belanja dan pendapatan perusahaan atau bisnis yang dikelolanya, mengevaluasi kembali kinerja perusahaannya (karyawan) dan melakukan penyesuaian ataupun perubahan target pencapaian kearah yang lebih relevan. Akibat cukup besarnya krisis yang ada saat ini imbasnya dapat dirasakan juga pada sektor bisnis kesehatan dan rumah sakit (terutama RS. swasta). Dalam menghadapi tekanan tersebut diperlukan penataan ulang mekanisme “ mesin cetak ” keuangan, penataan anggaran belanja kebutuhan dalam upaya penghematan dan penataan kembali mekanisme distribusi hasil jasa produksi, termasuk mekanisme bagihasil (gainsharing) jasa pelayanan yang prosesnya dilakukan melalui Proses Remunerasi.
Sebagai dasar dalam menata proses remunerasi layanan kesehatan (Health Care Services), diperlukan sedikit pengetahuan dasar mengenai sistem dan azas dasar dari usaha “bisnis” rumah sakit. Rumah sakit merupakan suatu unit usaha jasa yang berbeda dari layanan usaha jasa lain, karena selain memberikan jasa layanan sosial di bidang medis (pada masa lampau dikenal sangat lekat dengan nuansa sosial kemasyarakatan ketimbang profit oriented), pengelola rumah sakit harus tetap mampu menjaga kelangsungan bisnis rumah sakit (terutama bagi RS. swasta). Dalam pengelolaan rumah sakit dapat saja terjadi konflik kepentingan berbagai pihak, yang dapat bersumber dari situasi eksternal RS (pengaruh owner, situasi politik, ekonomi & keamanan, kebijakan yang tidak kondusif, dll) ataupun pengaruh keadaan Internal RS sendiri, seperti: 1. Klasifikasi organisasi atau “status” RS masih masih belum jelas, 2. Belum ada Dewan Pengawas (Governing Body) dan aturan dasar RS (Hospital bylaws ), yang berfungsi mengawasi pimpinan rumah sakit dan menjadi acuan bagi pimpinan rumah sakit dalam pengelolaan rumah sakit. 3. Deviasi dari Visi, Misi dan Tujuan Rumah Sakit yang dilakukan secara “ berjama’ah ”, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, 4. Ketidak-mampuan atau ketidak- kompetenan (Lack of Skill or Improper) pimpinan RS, manajemen RS atau seluruh unsur RS (?) dalam mengelola “core bisnis” RS.
Berdasarkan orientasi terhadap profitabilitas, organisasi rumah sakit pada umumnya terbagi atas: Organisasi bisnis (profit) dan organisasi non bisnis (non profit). Di Indonesia rumah sakit non bisnis pada hakikatnya terdiri dari dua kelompok yaitu: 1. RS. milik pemerintah dan, 2. RS. bukan milik Pemerintah. Sebagai contoh rumah sakit milik pemerintah adalah RS. vertikal Depkes, RS. milik departemen lain, RS. milik TNI / Polri serta RS. milik pemerintah daerah. Sedangkan contoh RS non bisnis bukan milik pemerintah adalah RS. milik universitas / perguruan tinggi, RS. milik lembaga swadaya masyarakat dan RS. milik organisasi keagamaan dll. Sedangkan organisasi rumah sakit yang berorientasi bisnis murni (profit) biasanya dimiliki oleh swasta (domestik maupun asing) misalnya saja RS. milik konglomerasi, RS. milik swasta asing dan RS. milik pribadi.
Berkaitan dengan berbagai tekanan ekonomi dan keterbatasan anggaran yang disediakan oleh pemerintah dan otorotas RS, maka dewasa ini sulit bagi pengelola RS non bisnis untuk tetap konsisten bertahan pada idealisme awal (murni non profit), sebagai solusi untuk mengatasi keadaan diatas beberapa RS non bisnis merasa perlu untuk membuka sayap bisnis dalam bentuk layanan rawat (Paviliun Khusus Swasta ), layanan rawat sehari (Oneday Care), atau layanan kekhususan lain (Unit Hemodialisis, Pusat Stroke dll).
Seperti telah disebutkan diatas pengaruh krisis global yang berkepanjangan, ditambah dengan masalah sosial, politik dan keamanan (nasional & internasional) telah memicu munculnya inflasi diberbagai sektor riil, yang pada akhirnya akan memaksa pemerintah untuk berhati-hati dalam menghitung anggaran belanja negara termasuk belanja dibidang kesehatan. Respons yang berlebihan untuk tetap mempertahankan idealisme dengan alasan dan tujuan tertentu yang tidak logis serta hanya untuk kepentingan diri, kelompok ataupun golongan (terutama dalam menghadapai Pemilu 2009) tanpa memperhatikan pengaruh faktor eksternal, faktor internal dan confounding faktor lainnya, lama kelamaan dapat menyebabkan rumah sakit tidak dapat berfungsi dengan baik. Demikian pula hasrat yang berlebihan dalam menjawab keadaan diatas (dalam bentuk peningkatan pola tarif yang tidak sesuai dengan kondisi ekonomi masyarakat saat ini), akan dapat menyebabkan rumah sakit kehilangan ruh dan fungsi sosialnya yang selama ini diagungkan disamping dapat berpotensi menyengsarakan masyarakat.
Berkaitan dengan kualitas dan fasilitas, beberapa rumah sakit pemerintah maupun swasta yang ada saat ini memiliki kualitas layanan kesehatan yang sangat memprihatinkan dan fasilitas yang menyedihkan. Hal ini antara lain disebabkan adanya keterbatasan sumber daya (sumber daya finansial & non finansial). Tuntutan masyarakat terhadap peningkatan mutu jasa layanan rumah sakit (Hospital / Medical Services) membutuhkan dana investasi yang tidak sedikit. Peningkatan tuntutan terhadap kualitas jasa layanan rumah sakit harus diikuti pula dengan peningkatan profesionalitas pengelolannya dan pengelolaanya serta selalu dibarengi dengan niat tulus dan jujur tanpa ada keinginan untuk mendapatkan keuntungan baik secara pribadi, golongan maupun kelompok.

Remunerasi Jasa medis dan gaji upah
Dalam membahas remunerasi jasa medis dan gaji upah, perlu dipahami makna dan tujuan dari remunerasi pada umumnya.
Tujuan dari Remunerasi adalah: 1. Memperoleh SDM yang qualified, 2. Mempertahankan karyawan yang baik dan berprestasi serta mencegah turnover karyawan, 3. Mendapatkan keunggulan kompetitif, 4. Memotivasi karyawan untuk memperoleh perilaku yang diinginkan, 5. Menjamin keadilan antara satu karyawan dengan yang lainnya berdasarkan kinerja dan prestasi kerja, 6. Mengendalikan biaya, 7. Sebagai sarana untuk mencapai sasaran strategis RS, dan 8. Memenuhi peraturan Pemerintah.
Pemahaman definisi remunerasi jasa medis pada dasarnya adalah : Besaran nilai jumlah uang yang harus diterima oleh tenaga medis sebagai kompensasi atas kinerja yang telah dilakukan, berkaitan dengan risiko dan tanggung jawab profesi dari pekerjaannya. Sedangkan gaji upah tenaga medis adalah nilai total yang harus diterima oleh tenaga medis dari nilai kompensasi ditambah dengan besaran keuntungan lain (tangible & intangible). Penjelasan dari definisi diatas, remunerasi terdiri dari: Kompensasi (komisi, keuntungan langsung) dan insentif (bonus, bagihasil) atas kinerja atau aktifitas tugas yang telah dilakukan. Sedangkan upah mencakup pendapatan dari besaran kompensasi dan insentif ditambah dengan besaran keuntungan tak langsung yang didapat dari pengembangan atau aktifitas organisasi / institusi.
Menurut Flippo EB, (1961). Remunerasi sesungguhnya adalah ”Harga untuk jasa-jasa yang telah diberikan seseorang kepada orang lain”. Dengan kata lain remunerasi jasa medis merupakan bentuk kompensasi atas jasa (jasa medis) yang telah diberikan / dilakukan tenaga medis pada pasiennya, dan untuk memudahkan dalam pendistribusian maka remunerasi dikonkritkan dalam bentuk nominal.
Jasa medis yang dilakukan oleh tenaga medis pada hakikatnya berkaitan dengan layanan medis dokter terhadap pasiennya didalam rumah sakit, layanan tersebut dapat dilakukan dengan dukungan unit-unit penunjang lain baik unit penunjang langsung (rekam medik, radiologi, laboratorium, fisioterapi, gizi, dll) maupun unit penunjang tidak langsung (unit manajemen, marketing, sekuriti, perparkiran, kebersihan dll). Dari penjelasan diatas mudah dipahami bahwa layanan RS (Hospital Services) merupakan hasil dari satu kerjasama berbagai unit / layanan bersama, dengan berbagai proporsi,kerja, risiko dan tanggung jawab. Beberapa unit penunjang langsung juga merupakan sumber pendapatan RS, oleh karenanya bentuk jasa layanan yang dilakukan tadi disebut sebagai Jasa Pelayanan Rumah Sakit. Pada klinik dan RS yang cukup kecil dengan layanan terbatas, biasanya jasa medis congcruent dengan jasa pelayanan.
Terdapat berbagai cara dalam melakukan perhitungan untuk mendapatkan besaran nilai remunerasi jasa pelayanan, berikut dibawah ini adalah pedoman yang dapat digunakan dalam melakukan proses remunerasi:
1. Amanat Undang-undang No. 43 tahun 1999 tentang Kepegawaian bahwa sistem penggajian Pegawai Negeri adalah berdasarkan merit yang disebutkan dlm psl. 7
• ayat 1 : Setiap Pegawai Negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya
• ayat 2 : Gaji yang diterima oleh Pegawai Negeri harus mampu memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraannya.
2. Remunerasi harus dapat memacu pegawai untuk menggunakan dan memanfaatkan waktunya lebih banyak di rumah sakit dalam upaya melaksanakan optimalisasi pekerjaannya.
3. Remunerasi harus memenuhi prinsip equity yang dikaitkan dikaitkan dengan kompetensi, prestasi dan besaran risiko yang dihadapi.
4. Menggunakan pendekatan yang menitik-beratkan pada kombinasi Sistem Penilaian berdasar pada kemampuan pencapaian hasil / penyelesaikan tugas dan Penilaian berdasar pada keterampilan pelaksanaan tugas (Performance Based Pay Sistem and Skill Based Pay System).


Remunerasi Tenaga Paramedis
Tugas pelayanan kesehatan (Health Care) paramedis dalam melakukan asuhan keperawatan akan menyebabkan dirinya berada pada posisi paling depan yang juga berisiko tinggi. Keberhasilan pada tiap asuhan medis akan sangat bergantung pada keberhasilan asuhan keperawatan, sulit sekali atau bahkan hampir tidak pernah ada asuhan medis di rumah sakit yang dilakukan tanpa dukungan asuhan keperawatan. Oleh karena itu secara umum remunerasi tenaga paramedis akan selalu mengikuti (congruence) remunerasi tenaga medis dengan prosentase tertentu yang disepakati melalui pertimbangan besaran risiko, kesulitan kerja dan jenjang pendidikan.

Remunerasi untuk Dewan Pengawas, Direktur dan Staf Manajemen
Keberhasilan dalam mencapai Visi, Misi dan Tujuan Rumah sakit selalu dan selalu saja berkaitan dengan komitmen penuh dari 4 unsur utama rumah sakit dibawah ini yaitu :
1. Dewan Pengawas (Owner / Governing body )
2. Direktur & Staff manajemen
3. Staf medik fungsional & paramedik
4. Karyawan ( tenaga) pendukung lain
Upaya yang patut dilakukan oleh keempat unsur diatas adalah kemampuan membangun rasa saling percaya (trust develop) dengan selalu bersandarkan pada :
1. Kejujuran yang utuh dalam tiap aspek pengelolaan rumah sakit,
2. Upaya untuk saling mengenal dan mengutamakan hubungan interpersonal,
3. Memiliki ataupun membangun Visi, Misi dan Tujuan RS yang jelas, dan selalu berupaya menyamakan persepsi berkaitan dengan Visi, Misi dan Tujuan RS, yang dijabarkan secara berjenjang berdasarkan tugas pokok dan fungsi masing-masing,
4. Selalu mengutamakan pemberdayaan karyawan.

Pada umumnya perseroan di Indonesia menganut sistem dual board (dua dewan), yaitu adanya direksi yang mengelola perusahaan sehari-hari, dan memiliki dewan komisaris yang melakukan pengawasan serta memberikan nasehat kepada direksi. Dewasa ini didalam struktur RSUD istilah Dewan Komisaris lebih dikenal dengan Dewan Pengawas (Governing Body). Pembahasan mengenai sistem penggajian Direksi dan Dewan Pengawas, tentu tidak terlepas dari ruang lingkup pekerjaan, tanggung jawab, kompetensi, dan komitmen waktu dari masing-masing Direktsi dan Dewan Pengawas. Di samping itu perlu juga diperhatikan, kesesuaian dengan hakikat pemisahan kepengurusan perusahaan menjadi dual board, agar mekanisme check and balance dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien melalui berbagai peraturan dasar yang dibuat oleh dewan pengawas, disebut sebagai Hospital bylaws dan berfungsi sebagai acuan bagi Direktur dalam melakukan penatalaksanaan RS .
Dengan asumsi bahwa RS(U)D. Kabupaten / Kota sedang mengupayakan perubahan status yang nantinya akan menjadi BLUD, maka selayaknya proses remunerasi yang akan dilakukan merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/PMK.02/2006, Tentang Pedoman Penetapan Remunerasi bagi Pejabat pengelola, Dewan Pengawas dan Pegawai Badan Layanan Umum , yaitu sbb:
Honorarium Dewan Pengawas ditetapkan sebagai berikut:
1. Honorarium Ketua Dewan Pengawas sebesar 40% (empat puluh persen) dari gaji Pemimpin BLU.
2. Honorarium anggota Dewan Pengawas sebesar 36% (tiga puluh enam persen) dari gaji Pemimpin BLU.
3. Honorarium Sekretaris Dewan Pengawas sebesar 15% (lima belas persen) dari gaji Pemimpin BLU.
Besaran remunerasi Direktur ditetapkan dengan mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut :
1. Proporsionalitas, yaitu pertimbangan atas ukuran (size) dan jumlah aset yang dikelola RS serta tingkat pelayanan.
2. Kesetaraan, yaitu dengan memperhatikan industri pelayanan sejenis.
3. Kepatutan, yaitu menyesuaikan kemampuan pendapatan RS yang bersangkutan
4. Kinerja operasional RS yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan, berkesuaian dengan type RS yang sekurang-kurangnya mempertimbangkan indikator keuangan, pelayanan, mutu dan manfaat bagi masyarakat.
Sedangkan remunerasi bagi pejabat keuangan dan pejabat teknis ditetapkan sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari direktur.

Remunerasi tenaga lain
Disebabkan jasa pelayanan congruent dengan pelayanan aktif kepada masyarakat maka remunerasi tenaga lain dilakukan pertama-tama dengan selalu mempertimbangkan kaitan tenaga tersebut dengan fungsi pelayanan, makin erat fungsi pelayanan (hospital services) yang dilakukan seseorang maka makin besar bobot yang diberikan kepadanya, makin kurang kaitannya (fungsi) seseorang dengan pelayanan maka makin berkurang pembobotannya.
Pembobotan berikutnya adalah dengan perhatian terhadap jabatan, jenis ketenagaan (dalam fungsi yang sama tenaga PNS bobotnya lebih besar dibanding non PNS). Selanjutnya jenjang pendidikan, lama kerja dan prestasi kerja..

Penutup
Pada akhirnya bagaimanapun metode dan cara yang ditempuh itu bukanlah masalah, selama itu dilakukan dengan selalu berlandaskan pada “ 8 Tujuan Proses Remunerasi ”, yang terpenting pada akhir proses akan tercapai hasil yang berkesesuaian dan menjiwai semangat dari tujuan remunerasi itu sendiri

No comments:

Post a Comment